MAKALAH
PEMBUDAYAAN
NILAI-NILAI PANCASILA/ NASIONAL DAN GLOBAL
Diajukan untuk memenuhi tugas mata Pendidikan Kewarganegaraan
Oleh :
Vickri Irawan
NIM :1331112
Matematika 2013 D
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN
ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SIDOARJO
2013
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke
hadirat Tuhan YME dan dengan rahmat dan karunianya, Makalah Pkn ini dapat kami
buat sebagai tugas kami.Sebagai bahan pembelajaran kami dengan harapan dapat di
terima dan di pahami secara bersama.
Dalam batas-batas tertentu makalah
ini memuat TentangPembudayaan
Nilai-Nilai Pancasila/ Nasional dan Global.Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah Pkn.Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.
Akhirnya kami dengan kerendahan hati
meminta maaf jika terdapat kesalahan
dalam penulisan atau penguraian makalah kami. Dengan Harapan dapat di terima
oleh bapak dan dapat di jadikan sebagai acuan dalam proses pembelajaran kami.
Sidoarjo, April
2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar.................................................................................................................... 2
Daftar
Isi............................................................................................................................. 3
BAB 1
: Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah..........................................................................................
4
B.
Perumusan Masalah................................................................................................. 4
C.
Tujuan Pembuatan Makalah....................................................................................
4
BAB
II : Pembahasan
A.
Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila/
Nasional dan Global...................................... 5
B.
Pancasila sebagai Dasar
Negara dan Pandangan Hidup Bangsa............................. 7
C.
Pancasila dalam Politik Pendidikan
Nasional.......................................................... 9
D.
Tantangan Globalisasi-Liberalisasi dan
Postmodernisme........................................ 19
E.
Pokok-Pokok Pikiran............................................................................................... 23
Daftar Rujukan.................................................................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu kenyataan bahwa kemerosotan akhlak serta
penghormatan pada nilai-nilai pancasila akhir-akhir ini tidak hanya menimpa
kalangan orang dewasa tetapi telah merembet pada kalangan pelajar tunas-tunas
muda.Orang tua, pendidik, dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan
sosial banyak mengeluh terhadap perilaku mereka yang tidak baik.Perilaku mereka
yang nakal, keras kapala, mabuk-mabukan, tawuran, pergaulan bebas, pesta
obat-obatan terlarang, bergaya hidup mewah dan pendek kata perilaku mereka
tidak mencerminkan pelajar yang berpendidikan.
Sehingga makalah ini saya buat
untuk memenuhi tugas saya kepada dosen Pkn. Dan karena begitu pentingnya materi
ini dan untuk menambah pematerian. Dengan ini saya membuat makalah Pkn tentang Pembudayaan
Nilai-Nilai Pancasila/ Nasional dan Global.
B. Perumusan Masalah
Kita dapat memenuhi apa yang
dimaksud dengan Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila/ Nasional dan Global dan
digunakan serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
C. Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini dibuat bertujuan untuk
membantu mempermudah pembelajaran serta melengkapi pematerian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembudayaan
Nilai-Nilai Pancasila/ Nasional dan Global
Pancasila sebagaimana ditetapkan
PPKI sebagai Dasar Negara Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 paling tidak
memiliki dua fungsi yaitu pertamasebagai simbol yang
mengukuhkan pendirian negara modern Indonesia yang merdeka. Ia menjadi tanda
kesepakatan pendirian republik modern dimana di dalamnya bernaung berbagai
kelompok, suku agama, dan wilayah. Di sini Pancasila bersifat pragmatis dalam
arti ia sengaja dipilih untuk menjamin suatu kesatuan dan integrasi politik
yang bernama Republik Indonesia. Kedudukan ini secara mencolok nampak dalam
penetapan kembali sila-sila Pancasila ke dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya, Pancasila
harus dilihat sebagai visi bersama bagi pencapaian-pencapaian tujuan negara
yang diperjuangkan.
Yang kedua, Pancasila
juga dikukuhkan sebagai wawasan politik atau ideologi negara. Posisi semacam
ini tak pelak menjadikan Pancasila sebagai arena yang terbuka terhadap
pemaknaan politik. Pemaknaan terhadap Pancasila terus berkembang dan berubah
sesuai dengan konteks historis pada suatu masa tertentu. Pada masa demokrasi
parlementer (liberal) misalnya, Pancasila merupakan rujukan bagi pelaksanaan
praktik sistem pemerintahan liberal. Pada masa demokrasi terpimpin, Pancasila
merupakan landasan bagi praktek politik nasakom, ekonomi termpimpin dan
demokrasi terpimpin. Sedangkan pada masa Orde Baru, Pancasila dimaknai sebagai
dasar bagi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik yang antikomunis
sekaligus juga antilberal. Artinya Pancasila merupakan musuh utama dari
paham/aliran komunisme dan liberal dalam pengertian politik, sementara pada
masa demokrasi terpimpin, Pancasila adalah pengayom bagi semua pemikiran dan
ideologi termasuk agama, nasionalisme dan komunisme.
Selama masa Indonesia merdeka,
Pancasila merupakan empty
signifier, penanda tanpa petanda, signified tanpa signifier. Artinya, Pancasila terus menerus dimaknai, tanpa
adanya pemaknaan yang tetap dan abadi (fixed).
Pancasila merupakan empty
signifier bagi kontestasi pemaknaan dan simbolisasi dalam
partikularitas suatu rentang waktu. Tiap kekuasaan pada suatu waktu,
menggunakan kekuasaannya untuk memaknai Pancasila, dan menjadikannya diskursus
hegemonik. Seiring runtuhnya kekuasaan suatu rezim, runtuh pulalah sistem
pemaknaan dan simbolisasi terhadap Pancasila, diisi dengan pemaknaan baru, dan
diskursus hegemonik baru, menggantikan yang sebelumnya, dan terus menerus.
Sebagai dasar negara, Pancasila yang
digali dari budaya dan pengalaman kehidupan masyarakat Indonesia didesain
sebagai rujukan bagi para penyelenggara negara dan segenap warga negara dalam
melaksanakan aktivitas kehidupannya dalam berbagai bidang dan aspeknya. Namun
realitas menunjukkan pemaknaan nilai-nilai Pancasila semakin jauh dimiliki oleh
setiap warga negara. Dalam pidato politik berkaitan dengan peringatan Hari
Lahir Pancasila 1 Juni Tahun 2006 yang lalu, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mensinyalir adanya keengganan bangsa kita untuk
berbicara tentang Pancasila, seperti penegasan berikut:
“….Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini,
di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negara
kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan
kata-kata semacam Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan
Kebangsaan, Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan, dan lain-lain,
karena bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi.
Bisa-bisa dianggap tidak reformis…” (Yudhoyono, 2006:xv)
Apa yang disinyalir oleh Presiden
SBY sebagaimana diutarakan di atas, tentu bukan tanpa argumentasi. Betapa
tidak, tatkala euforia reformasi melanda negeri kita, juga diiringi dengan
perubahan lingkungan strategis nasional, regional, maupun global yang terjadi
dalam eskalasi yang cepat, ternyata tidak diikuti dengan penyikapan secara
proporsional oleh segenap warga negara dalam memandang keberhasilan reformasi
tersebut. Sikap dan perilaku tidak proporsional tersebut antara lain
terejawantahkan melalui tuntutan kebebasan yang tak terbatas. Secara
akumulatif, sikap dan tindakan aproporsional itu ternyata telah mampu menggerus
rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan, yang berujung pada
keengganan komponen bangsa kita; pelajar, mahasiswa, generasi muda, pengusaha,
tak terkecuali kalangan aparatur pemerintah sendiri, untuk membicarakan
Pancasila.
Apa penyebab tindakan aproporsional
tersebut? Menurut Somantri (2006) Pancasila mempunyai stigma karena sepak
terjang rezim otoriter Orde Lama maupun Orde Baru. Orde Lama menggiring
Pancasila pada ortodoksi ideologis Manipol-Usdek bahkan konsepsi simplistik
Nasakom. Sementara Orde Baru memerosokkan Pancasila pada jeram mistifikasi dan
ideologisasi monologis Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan
asas tunggal. Sehingga Pancasila yang di awal kelahirannya secara
eksistensialis ibarat sebuah keajaiban yang maujud, kemudian di era reformasi
hampir dilupakan dan dianggap ideologi kalah, bahkan analog dengan rezim Orde
Baru itu sendiri. Padahal Pancasila bukanlah milik sebuah rezim tertentu. Ia
secara substansialis dirumuskan sebagai grundsnorm bagi konsensus untuk merekatkan aneka ragam
kelompok masyarakat kepulauan yang besar jumlahnya, berbeda-beda dan hidup di
kawasan yang luas, untuk berdiri tegak di wilayah negara kesatuan bernama
Indonesia.
Kelekatan rezim Orde Baru dengan
mistifikasi dan ideologisasi Pancasila membawa implikasi penistaan Pancasila
tatkala rezim berganti (Somantri, 2006). Pergantian rezim berimplikasi pada
skenario demistifikasi dan pengenyahan Pancasila yang menyertakan penanggalan
simbol, bahasa, dan instrumen-instrumen politik rezim Orde Baru. Tidak
terkecuali dalam politik pendidikan. Pendidikan Pancasila yang sejatinya
menjadi alat untuk proses pembudayaan dan pelembagaan nilai-nilai Pancasila
direduksi dengan dalih integrasi ke dalam Pendidikan Kewarganegaraan.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana memaknai dan menempatkan Pancasila
setelah pemaknaannya oleh Orde Baru runtuh? Bagaimana pula membudayakan dan
melembagakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
era reformasi sekarang? Tidak dapat dipungkiri bahwa baik sebagai sebuah
perjanjian yang memateraikan pendirian republik, dan sebagai ideologi bangsa,
nilai-nilai Pancasila berada jauh dengan implementasinya.
B. Pancasila
sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Pancasila sebagaimana dirumuskan
oleh penggalinya adalah pandangan hidup yang muncul dalam mengenali realitas
sosio-politik bangsa Indonesia. Pancasila adalah upaya dan muara yang paling
mungkin untuk disepakati dari beragamnya aspek plural kehidupan masyarkata
Indonesia. Rumusan Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945
alinea IV, terdiri atas lima sila, asas atau prinsip yaitu:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.
Persatuan Indonesia
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sedangkan secara entitas, Pancasila itu sendiri pada
hakekatnya ia adalah nilai (Kaelan, 2002). Nilai atau value adalah sesuatu yang berharga, berguna bagi
kehidupan manusia. Nilai memiliki sifat sebagai realitas yang abstrak, normatif
dan berguna sebagai pendorong tindakan manusia. Kelima sila, asas atau prinsip
Pancasila di atas dapat dikristalisasikan ke dalam lima nilai dasar yaitu nilai
KeTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Pancasila yang berisi lima nilai
dasar itu ditetapkan oleh bangsa Indonesia sebagai dasar negara dan ideologi
nasional Indonesia sejak tahun 1945 yaitu ketika ditetapkan Pembukaan UUD NRI
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kedudukannya sebagai dasar negara
dan ideologi nasional ini dikuatkan kembali melalui Ketetapan MPR RI No. XVIII/
MPR/1998 yang mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 sekaligus
secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai dasar negara (Yudhoyono,
2006:xvi). Pancasila sebagai dasar negara berkonotasi yuridis, sedang Pancasila
sebagai ideologi dikonotasikan sebagai program sosial politik (Mahfud MD, 1998
dalam Winarno, 2010). Pancasila telah menjadi dasar filsafat negara baik secara
yuridis dan politis (Kaelan, 2007:12)
Pancasila sebagai dasar negara dapat
ditinjau dari aspek filosofis dan yuridis. Dari aspek filosofis, Pancasila
menjadi pijakan bagi penyelenggaraan bernegara yang dikristalisasikan dari
nilai-nilainya. Dari apek yuridis, Pancasila sebagai dasar negara menjadi cita
hukum (rechtside) yang harus
dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Politik pembangunan hukum
di Indonesia dengan kerangka nilai Pancasila memiliki kaidah kaidah
penuntunnya.
Pancasila sebagai sumber dan kaidah
penuntun hukum itu selanjutnya dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan
sebagai sumber hukum formal. Jalinan nilai nilai dasar Pancasila dijabarkan
dalam aturan dasar (hukum dasar) yaitu UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasal yang
mencakup berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Aturan-aturan dasar dalam UUD 1945 selanjutnya dijabarkan lagi dalam undang-undang
dan peraturan dibawahnya. Hieraki hukum Indonesia yang terbentuk ini berbentuk
piramida yang dapat dilihat dan sejalan dengan Stufenbautheorie (teori jenjang norma) dari Hans
Kelsen, dimana Pancasila sebagai Grundsnorm berada
di luar sistem hukum, bersifat meta
yuristic tetapi menjadi tempat bergantungnya norma hukum
Pada posisinya sebagai ideologi
nasional, nilai-nilai Pancasila difungsikan sebagai nilai bersama yang ideal
dan nilai pemersatu. Hal ini sejalan dengan fungsi ideologi di masyarakat
yaitu: Pertama, sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai
secara bersama oleh suatu masyarakat. Kedua, sebagai pemersatu
masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi di
masyarakat (Ramlan Surbakti, 1999 dalam Winarno, 2010). Dalam kaitannya dengan
yang pertama nilai dalam ideologi itu menjadi cita-cita atau tujuan dari
masyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat adalah untuk mencapai terwujudnya
nilai-nilai dalam ideologi itu.
Sedangkan dalam kaitannya yang kedua,
nilai dalam ideologi itu merupakan nilai yang disepakati bersama sehingga dapat
mempersatukan masyarakat itu serta nilai bersama tersebut dijadikan acuan bagi
penyelesaian suatu masalah yang mungkin timbul dalam kehidupan masyarakat yang
bersangkutan. Pancasila sebagai ideologi nasional ini dapat dipandang dari sisi
filosofis dan politis. Dari aspek filosofis, nilai-nilai Pancasila menjadi
dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan (fungsi pertama
ideologi). Dari aspek politik Pancasila merupakan modus vivendi atau kesepakatan luhur yang mampu
mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam satu nation stateatas dasar prinsip
persatuan (fungsi kedua ideologi). Pancasila menjadi nilai bersama atau nilai
integratif yang amat diperlukan bagi masyarakat yang plural.
C. Pancasila
dalam Politik Pendidikan Nasional
Dalam konteks pendidikan nasional,
tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa mengalami
fluktuasi tafsiran dari setiap rezim yang berkuasa, bukan hanya masa orde baru
yang selama ini kita anggap sebagai rezim yang paling getol memberikan tafsir
tetapi juga sudah dimulai sejak rezim pemerintahan presiden Soekarno pada masa
orde lama (Samsuri, 2009).
Pada tahun 1959/1960-an ketika gegap
gempita Demokrasi Terpimpin begitu kuat di panggung politik ketika itu, telah
diperkenalkan mata pelajaran Civicsdalam
dunia pendidikan Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya satu buku terbitan
Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) yang berjudul
“Civics: Manusia Indonesia Baru,” karangan Mr. Soepardo, dkk. Materi buku itu
berisi tentang Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia; Pancasila; UUD 1945;
Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin; Konferensi Asia-Afrika, Hak dan Kewajiban
Warga Negara, Manifesto Politik; Laksana Malaikat; dan lampiran-lampiran Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, Pidato Lahirnya Pancasila, Panca Wardana, dan Declaration
of Human Rights; serta pidato-pidato lainnya dari Presiden Sukarno
dalam “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) (Muchson, 2004:30). Buku
“Civics” dan Tubapi tersebut kemudian menjadi sumber utama mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah, dengan ciri indoktrinasi yang
sangat dominan.
Perkembangan berikutnya, mata
pelajaran “Civics” yang kemudian diganti menjadi “Kewargaan Negara” pada 1962,
pada Kurikulum 1968 ditetapkan secara resmi menjadi “Pendidikan Kewargaan
Negara.” Di dalam kurikulum ini, penjabaran ideologi Pancasila sebagai pokok
bahasan dianggap mengedepankan kajian tata negara dan sejarah perjuangan
bangsa, sedangkan aspek moralnya belum nampak (Aman, dkk., 1982:11).
Pada masa orde baru, tafsir
ideologis negara dalam bidang pendidikan mulai menampakkan kekuatannya ketika
secara formal, GBHN 1973 menyebut perlunya: “Kurikulum di semua tingkat
pendidikan …berisikan Pendidikan Moral Pancasila….” Apabila dicermati, nampak
jelas bahwa Pancasila ditafsirkan dalam masing-masing pokok bahasan, sub pokok
bahasan, dan bahan pengajaran, dengan nuansa Civics Kurikulum 1968.
Materi tafsir ideologi nasional dalam PMP makin
indoktrinatif ketika MPR telah menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4). P4 ini mengharuskan setiap warga negara dan aparatur negara
untuk melaksanakannya. Dalam lapangan pendidikan, P4 ini menjadi “roh” dan
“mata air” dari mata pelajaran PMP sampai dengan diubah namanya menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada Kurikulum 1994.
Istilah PPKn lebih dikuatkan dan
ditegaskan dengan keluarnya keputusan Mendikbud No. 061/U/1993 tenang Kurikulum
Pendidikan Dasar dan Kurikulum Sekolah Menengah Umum yang antara lain
menyebutkan bahwa PPKn adalah mata pelajaran yang digunakan untuk wahana
mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya
bangsa Indonesia.
Selama periode Orde Baru, pendidikan
sebagai instrumen pembentukan karakter warga negara menampakkan wujudnya dalam
standarisasi karakter warga negara. yang disajikan dalam mata pelajaran PMP dan
atau PPKn dengan memasukan secara membabi-buta tafsir Pancasila menurut P4.
Pancasila direduksi menjadi 36 butir tafsir pengamalan nilai-nilai Pancasila.
P4 inilah yang kemudian menjadi keharusan pedoman atau arah tingkah laku warga
negara.
Dalam versi lain, menurut Samsuri
(2009) Pancasila tidak hanya direduksi dalam 36 butir P4, tetapi di dalam mata
pelajaran PPKn Kurikulum 1994 ditambah menjadi 45 butir. Sebagai contoh hal ini
dapat dilihat dalam materi PPKn untuk SMA yang disebut sebagai konsep nilai,
moral dan norma Pancasila seperti diperlihatkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Konsep Nilai, Moral dan
Norma Pancasila dalam GBPP PPKn SMA dan Pola Penyebaran serta Acuan
Pengembangannya
Sila-Sila Pancasila
|
Pokok Bahasan Kelas I
|
Pokok Bahasan Kelas II
|
Pokok Bahasan Kelas III
|
Ketuhanan
Yang Maha Esa
|
1.
Toleransi
|
4.
Ketaqwaan
|
7.
Kerukunan
|
2.
Kerukunan
|
5. Saling
menghormati
|
8. Nilai
Luhur
|
3.
Keselarasan
|
6.
Kerjasama
|
9.
Keyakinan
|
Kemanusiaan
yang adil dan beradab
|
10.
Menghargai
|
13.
Keramah tamahan
|
16.
Keadilan-kebenaran
|
11.
Persamaan derajat martabat
|
14.
Keserasian hidup
|
17.
Kecintaan
|
12. Kasih
sayang
|
15.
Martabat dan harga diri
|
18.
Tenggang rasa
|
Persatuan
Indonesia
|
19. Cinta
tanah air
|
22.
Kesatuan
|
25.
Kebanggaan
|
20.
Patriotisme
|
23.
Kesetiaan
|
26.
Kebulatan tekad
|
21.
Kewaspadaan
|
24.
Kesatuan-persatuan
|
27.
Kesetiaan
|
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
|
28.
Kebijaksanaan
|
31.
Keikhlasan dan Kejujuran
|
34.
Ketaatan
|
29.
Musyawarah
|
32.
Tanggung jawab
|
35.
Keikhlasan
|
30.
Ketertiban
|
33. Nilai
Lebih Demokrasi Pancasila
|
36.
Pengendalian diri
|
Keadilan
Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
|
37.
Pengabdian
|
40.
Kedisiplinan
|
43.
Keadilan sosial
|
38.
Kegotongroyongan
|
41.
Kesederhanaan
|
44.
Bekerja sama
|
39.
Kepentingan umum
|
42.
Kecermatan dan hidup hemat
|
45. Tolong
menolong
|
Sumber: Djahiri dan Wahab (1996:85) Samsuri (2009)
Meskipun Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 Pasal 1 menjelaskan bahwa “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana
tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya,” tetapi P4 menjadi
kelihatan lebih penting dari Pancasila itu sendiri. Lebih jauh, P4 dan
Pancasila menjadi “kata sakti” dalam segenap kesempatan pejabat dari tingkat
pusat hingga lokal dalam forum-forum formal maupun non formal (Samsuri, 2009).
Dari gambaran tersebut, nilai-nilai
yang menjadi materi pokok pembelajaran PMP ataupun PPKn berasal dari “atas”
(rejim yang sedang berkuasa), bukan dari kehendak masyarakat pendidikan (arus
bawah). Konsekuensinya nilai-nilai yang menjadi model materi pembelajaran pun cenderung
hipokrit dan jauh dari aspirasi ilmiah (keilmuan), sehingga PMP ataupun PPKn
terkesan tidak jauh beda dengan mata pelajaran Civics atau pun
Kewargaan Negara pada masa rejim Soekarno 1960an (Samsuri, 2009).
Dewasa ini, sejalan dengan
berlakunya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka mata
pelajaran PPKn diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Dalam
Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi, mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan diartikan sebagai Mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Permendiknas RI No. 22
Tahun 2006).
Berdasarkan kajian Pancasila dalam
politik pendidikan di atas, kita menemukan bahwa proses pembudayaan nilai-nilai
Pancasila dapat dilakukan melalui pembelajaran PKn. Secara umum hasil-hasil
penelitian tentang PKn di berbagai negara sesungguhnya menyimpulkan bahwa PKn
mengarahkan warga negara itu untuk mendalami kembali nilai-nilai dasar,
sejarah, dan masa depan bangsa bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai paling
fundamental yang dianut bangsa bersangkutan.
Dari perspektif teori fungsionalisme struktural,
sebuah negara bangsa yang majemuk seperti Indonesia membutuhkan nilai bersama
yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative value), titik temu (common denominator), jati diri bangsa (national identity) dan sekaligus nilai yang dianggap baik
untuk diwujudkan (ideal value).
Nilai bersama ini tidak hanya diterima tetapi juga dihayati. Dalam pandangan
teori kewarganegaraan communitarian,
sebuah komunitas politik bertanggung jawab memelihara nilai-nilai bersama (common values) tersebut dalam
rangka mengarahkan individu (Winarno, 2010). Melalui PKn nilai-nilai bersama
yang merupakan komitmen sebuah komunitas diinternalisasikan sehingga tumbuh
penghayatan terhadapnya.
Dalam kepustakaan asing ada dua
istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan
yakni civic education dan citizenship education. Cogan
(1999:4) mengartikan civic
education sebagai “…the
foundational course work in school designed to prepare young citizens for an
active role in their communities in their adult lives”, atau suatu mata
pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara
muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.
Sedangkancitizenship education atau education for citizenship oleh
Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih
luas yang mencakup “…both these
in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning
which takes place in the family, the religious organization, community
organizations, the media,etc which help to shape the totality of the citizen”.
Di sisi lain, David Kerr (1999)
mengemukakan bahwa Citizenship
or Civics Education is construed broadly to encompass the
preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens
and, in particular, the role of education (through schooling, teaching and
learning) in that preparatory process. (Kerr, 1999:2) atau PKn
dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil
peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran
pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam
proses penyiapan warganegara tersebut.
Dari pendapat di atas, dapat
dikemukakan bahwa istilah citizenship
educationlebih luas cakupan pengertiannya daripada civic education. Dengan cakupan
yang luas ini maka citizenship
education meliputi di dalamnya PKn dalam arti khusus (civic education). Citizenship
education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga
negara muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara,
sedang civic education adalah citizenship education yang
dilakukan melalui persekolahan.
Untuk
konteks di Indonesia, citizenship
education atau civic
education dalam arti luas oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan
istilah pendidikan kewarganegaraan (Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau
pendidikan kewargaan (Azra, 2002). Secara terminologis, PKn diartikan sebagai
pendidikan politik yang yang fokus materinya peranan warga negara dalam
kehidupan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina
peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi
warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (Cholisin, 2000 dalam
Samsuri, 2011).
Pancasila sebagai dasar negara sudah berumur lebih
dari 67 tahun. Kualifikasi Pancasila sebagai dasar negara resmi tertuang di
dalam Pembukaan UUD 1945. Sederetan data dan bukti sejarah sejak Pembukaan
sidang pertama Dokuritsu Junbi Choosakai tanggal 29 Mei 1945 sampai disahkannya
UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 menunjukkan asal-muasal atau tujuan
bangsa Indonesia merumuskan Pancasila sebagai dasar negara tersebut.
Perlu diingat bahwa jauh sebelum dicapai rumusan
Pancasila yang final itu, nilai-nilai Pancasila telah membumi di dalam
adat-istiadat, kebiasaan dan agama-agama di Indonesia. Nilai-nilai itu dalam
kehidupan sehari-hari mengejawantah dalam bentuk pandangan hidup bangsa. Dalam
posisi demikian, Pancasila senantiasa berada dalam kesatuan dengan manusia
Indonesia, diterima dan dijadikan ukuran, petunjuk dan pedoman dalam kehidupan
segala bidang, baik ketika sendirian maupun ketika berinteraksi dengan manusia
lain, alam semesta sampai kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wajarlah oleh karenanya,
Pancasila yang demikian itu sering disebut pula sebagai jiwa bangsa,
kepribadian bangsa, perjanjian luhur bangsa, sumber dari segala sumber hukum,
cita-cita bangsa, alat pemersatu bangsa, falsafah bangsa, dan sebagainya.
Dalam perjalanan kehidupan sebagai bangsa, Pancasila
seakan akrab dengan berbagai ujian. Berbagai macam tantangan, keluhan, kritik,
sampai penolakan, baik dilakukan secara terang-terangan ataupun tersembunyi
pernah menimpa Pancasila. Hebatnya, selama ini Pancasila dan bangsa
Indonesia mampu menjawab semua ujian itu dengan tangkas dan elegan. Walau
demikian, kita mesti waspada, bahwa di era reformasi ini dan di era-era lain
yang akan datang, sangat mungkin ujian terhadap esensi dan eksistensi Pancasila
masih akan bermuncul dalam berbagai bentuk dan cara yang lebih canggih. Sekali
lagi kita mesti waspada. Ujian-ujian itu justru wajib kita pandang sebagai
tantangan dan sekaligus peluang untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih dewasa,
agar ke depan semakin mampu memberikan kontribusi bagi kebahagiaan bangsa
maupun dunia.
Tak dapat dipungkiri bahwa pada dua dekade terakhir,
ada kegelisahan pada sementara pecinta, pengagum dan penjaga keselamatan
Pancasila, terhadap realitas negatif yang terus berkembang baik kuantitatif
maupun kualitatif yang memandang sinis terhadap Pancasila. Pancasila tidak
diajarkan di sekolah-sekolah, tidak dijadikan rujukan penyusunan peraturan
perundang-undangan, tidak diimplementasikan dalam kehidupan. Pancasila, hanya
ada sebatas formalitas untuk irah-irah vonis hakim, atau undang-undang,
selebihnya tidak menjadi sumber inspirasi, motivasi maupun nilai dari vonis
maupun undang-ndang itu. Betapa banyak, vonis hakim yang jauh dari keadilan
sosial, betapa banyak undang-undang yang jiwanya bertentangan dengan Pancasila.
Singkat kata, kita ber-Pancasila masih pada tataran bentuk (formal) tetapi
belum sampai pada isi (substansi), masih sekedar memenuhi legalitas tetapi
belum peduli terhadap legimitas. Artinya, Pancasila hadir dalam bentuk
simbol-simbol tetapi maknanya belum menyentuh dan mewarnai sikap, perilaku
bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin dalam kondisi demikian kita bahagia?
Alih-alih, bahagia, adil dan makmur, justru kondisi bangsa saat ini cenderung
porak-poranda, rentan terhadap kekerasan, perpecahan dan “kolonisasi” bangsa
asing.
Terkait dengan latar belakang sejarah dan pemikiran
yang berbeda-beda, setiap negara memiliki keunikan tersendiri dalam hal
pandangan hidup dan dasar negara yang dipilihnya. Rechtsstaat yang dianut Jerman, Rule of Law di
Inggris, Big Brother dalam
tradisi Jepang, dan Pancasila bagi Indonesia, membawa kita pada pendapat bahwa
setiap bangsa dan negara adalah suatu unikum. Masing-masing memiliki
nilai-nilai yang tertanam dalam habitat kehidupannya, baik yang bersifat fisik,
sosial bahkan transendental. Globalisasi yang semakin meningkat, boleh jadi
mampu memperluas pemahaman satu bangsa atas bangsa lain, akan tetapi tidak
mungkin menghapuskan keunikan dan kemajemukan pandangan hidup dan dasar
negaranya masing-masing.
Jepang, kiranya dapat dijadikan sebuah contoh negara
yang setia pada pandangan hidupnya yang khas. Bahwa kekalahan Jepang pada
perang dunia II atas Sekutu, desakan Barat agar Jepang menerima modernisme,
serta gencarnya arus globalisasi, ternyata tidak menjadikan Jepang liberal dan
individualis, melainkan tetap pada jati dirinya sebagai bangsa yang memegang
teguh kokoro (hati
nurani), menjaga suasana kekeluargaan, Negara memainkan peran sebagai
institute Big Brother (Kakak) yang selalu berbuat baik
untuk kebahagiaan rakyat (Adik). Keunikan Jepang itu, pantas menjadi ilham bagi
bangsa Indonesia untuk berani berbuat serupa dalam mempertahankan Pancasila
sebagai pandangan hidup maupun dasar negara. Kalau sikap dan perilaku demikian
secara konsisten dapat kita ejawantahkan pada segala bidang kehidupan, bukan
tidak mungkin (bahkan menjadi keniscayaan) dalam waktu relatif singkat bangsa
Indonesia akan kembali meraih kejayaannya sebagai bangsa bermartabat, disegani
dan dihormati bangsa atau negara lain.
Bilamana kita bersedia menyimak dengan seksama
terhadap sikap dan perilaku siapapun yang tidak setuju dengan Pancasila,
sebenarnya sikap dan perilaku demikian karena faktor ketidak-pahaman mereka
tentang Pancasila itu sendiri. Apalah artinya kata-kata ketuhanan, kemanusiaan,
keadilan, persatuan, musyawarah dan sebagainya itu, apabila sikap dan perilaku
warga negara maupun penyelenggara negara senatiasa condong kepada tahta dan
harta benda duniawi, serta merta lalai terhadap rambu-rambu hukum ilahiah,
mengedepankan otoritas dan kekuatan, serta tega terhadap kenestapaan orang
lain, tak peduli terhadap kehancuran bangsa dan negara. Pancasila, memang perlu
dipahami secara kontekstual, dan bukan sekedar tekstual. Nilai-nilai Pancasila
sebagai sistem nilai, tidak sekali-kali memisahkan (sparate out) seseorang dari konteks sosial, alam
semesta maupun sangkan paraning dumadi. Segalanya
menjadi utuh, menyatu dan berkarakter holistik. Dalam konteks demikian, maka
apapun yang kita pikirkan, kita lakukan atau tidak kita lakukan, tiada lain
dalam bingkai keutuhan sebagai bangsa, tanpa mengurangi hak dan rasa hormat
sebagai warga negara atau penyelenggara negara. Di situlah, semua entitas
terhubung dalam keakraban lahir-batin, saling memberi, saling melengkapi, dalam
kebersamaan, kekeluargaan membangun negeri, yang muaranya pada keridhaan Illahi
Robbi.
Kontekstualisasi pembudayaan Pancasila, pada tataran
praksis, dapat dilakukan antara lain dengan pembudayaan musyawarah dan
mengeliminir gemar berperkara (les adjudication, more inquisitorial). Budaya
masyawarah, secara potensial akan menjadikan hasil akhir yakni kesepakatan
sebagai milik dan tanggung jawab bersama, sehingga dalam rentang perjalanan
pengimplementasian kesepakatan itu tidak akan saling menyalahkan, merasa paling
berjasa, apalagi “menjegal” kawan seiring, berkhianat dalam perjuangan. Lebih
dari itu, budaya musyawarah akan mampu menepis masuknya nilai permusuhan,
perpecahan, dendam, memandang pihak lain sebagai rival (pesaing) yang mesti
dikalahkan. Budaya musyawarah, justru menempatkan persaingan dalam konteks
positif dan indah, yakni “berlomba-lombalah dalam kebaikan”. Apabila orang lain
mampu bederma satu juta rupiah, maka terdorong baginya untuk bederma dalam
jumlah lebih banyak. Apabila founding fathers telah berhasil merumuskan
dasar negara, maka malu rasanya bila generasi berikutnya tidak mampu mengisi
kemerdekaan dengan prestasi yang lebih besar.
Sebuah pengalaman menarik, ketika Pusat Studi
Pancasila UGM menyelenggarakan Focus Group Discussion dalam Pembudayaan
Pancasila tanggal 28 Januari 2013, yang diikuti sekitar 30 orang ustadz dari
berbagai pondok pesantren di kabupaten dan kota di Provinsi DIY, terasakan
betul bahwa nilai-nilai agama yang kadang-kadang terasa begitu transendental,
terbukti telah terartikulasikan dengan rapi nan indah di dalam Pancasila.
Sungguh sayang hal demikian selama ini kurang/belum dipahami oleh para ustadz.
“Mengapa selama ini di pesantren tidak pernah diajarkan Pancasila?” Itulah
ungkapan peserta. Ternyata, ada proses pendidikan yang lepas dari akarnya,
tidak membumi, sehingga menghasilkan gap persepsi tentang Pancasila. Dengan FGD
tersebut, para ustadz seakan mendapat siraman air sejuk yang menyegarkan dan
mampu menumbuhkan gairah untuk ikut serta membudayakan Pancasila melalui pondok
pesantren.
Saya membayangkan, apabila pembudayaan Pancasila
secara intensif dapat diselenggarakan pada semua jenjang dan jenis pendidikan,
barangkali tidak akan ada kasus penolakan terhadap Lambang Negara Garuda
Pancasila. Kita paham bahwa setiap negara mempunyai Lambang Negara sebagai
simbol kedaulatan, kepribadian dan kemegahan negara itu. Sama sekali tak ada
niat dan nilai kemusrikan di dalamnya. Justru sebaliknya, dengan lambang negara
menjadi mudah bagi bangsa yang bersangkutan untuk memupuk cinta tanah air.
Bukankah hal demikian merupakan bagian dari iman?
Tak terkecuali, bangsa Indonesia pun memiliki Lambang
Negara Garuda Pancasila yang disahkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66
Tahun 1951, dan penggunaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
1958. Pada peraturan itu dapat ditangkap arti atau makna lambang negara
tersebut. Di bawah ini, saya coba mengutip beberapa bagian secara utuh agar
maknanya dapat ditangkap dengan benar.
Adalah Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda
Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung
yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Garuda dengan perisai memiliki paruh, sayap,
ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan.
Garuda memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17,
ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45, adalah tanggal,
bulan dan tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
(1)
Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang
melukiskan katulistiwa.
(2)
Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai
berikut:
A.
Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan
cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;
B.
Dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan
dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai;
C.
Dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon
beringin di bagian kiri atas perisai;
D.
Dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala
banteng di bagian kanan atas perisai; dan
E.
Dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan atas perisai.
Lambang Negara wajib digunakan di:
1. Dalam
gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan;
2. Luar gedung
atau kantor;
3. Lembaran
negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
4. Paspor,
ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
5. Uang logam
dan uang kertas; atau
6. Materai.
Selain itu Lambang Negara dapat digunakan sebagai :
1. Cap atau kop
surat jabatan;
2. Cap dinas
untuk kantor;
3. Pada kertas
bermaterai;
4. Pada surat
dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa, dan tanda kehormatan;
5. Lencana atau
atribut pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga negara Indonesia yang
sedang mengemban tugas negara di luar negeri, Lambang Negara sebagai lencana
atau atribut dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri;
6. Penyelenggaraan
peristiwa resmi;
7. Buku dan
majalah yang diterbitkan oleh Pemerintah;
8. Buku
kumpulan undang-undang; dan/atau di rumah warga negara Indonesia.
Setiap orang dilarang:
1. Mencoret,
menulisi, menggambari, atau membuat rusak lambang negara dengan maksud menodai,
menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara;
2. Menggunakan
lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan
perbandingan ukuran;
3. Membuat
lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau
perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara; dan
4. Menggunakan
lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam undang-undang.
Pada hemat saya, lambang negara juga menunjukkan
kemajuan kebudayaan dan peradaban bangsa yang bersangkutan. Penghormatan
terhadap lambang negara tentu tidak akan ada artinya apabila tanpa disertai
penghayatan dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya,
penghormatan terhadap lambang negara sebagai perilaku lahiriah perlu
disatu-padukan dengan sikap batin untuk senantiasa cinta tanah air.
Pembudayaan Pancasila, hanya akan efektif bila
berkesesuaian dengan struktur sosialnya. Begitu majemuknya struktur sosial di
negara ini, mengisyaratkan pembudayaan Pancasila pun wajib diselenggarakan
dengan bijak dalam memilih metode. Tidak ada metode tunggal dan universal.
Semua metode dapat dipilih dan benar, apabila berkorelasi dengan tingkat
berpikir, daya tangkap, dan daya tarik bagi masyarakatnya. Di situlah, inovasi
dan kreativitas diperlukan. Rambu-rambunya cukup sederhana, yakni
komunalistik-religius. Sejauh rambu-rambu itu dipahami dan dtaati, maka
kebebasan berinovasi, berkreativitas dalam pembudayaan Pancasila perlu dihargai
dan diterima.
Bangsa Indonesia
berkembang generasi demi generasi; sebagaimana juga dunia berkembang dalam
dinamika globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme. Hanya bangsa yang unggul-kompetitif-terpercaya
dalam sistem kenegaraan Pancasila ---yang diakui sebagai sistem
kenegaraan terbaik bagi bangsa Indonesia---. Antar berbagai sistem kenegaraan
modern, secara niscaya terjadi kompetisi dan perebutan keunggulan (supremasi
ideologi dan politik) melalui berbagai bidang kehidupan: sosial politik,
ekonomi, budaya dan ipteks canggih.
Dinamika
globalisasi-liberalisasi yang mendominasi praktek dan budaya politik
internasional modern, dipelopori oleh USA dan Unie Eropa, sesungguhnya adalah
praktek neo-imperialisme. Mereka bahkan melakukan rekayasa
global, dan menguasai organisasi dunia, seperti: PBB, World Bank, IMF, bahkan
juga ADB melalui jaringan NGO. Nampaknya, dana yang disediakan untuk perang
dingin, dimanfaatkan untuk perjuangan politik supremasi ideologi.
Generasi
muda hendaknya meningkatkan kewaspadaan nasional dan ketahanan nasional;
karena NKRI ini adalah milik masa depan kalian!
Dalam
era reformasi amat banyak terjadi penyimpangan dari asas-asas
filosofis-ideologis (Pancasila) dan konstitusi Proklamasi (yang
sudah menjadi UUD 2002, yang sarat kontroversial). Praktek NKRI telah menjadi
budaya negara federal atas nama kebebasan, demokrasi dan HAM;
sehingga berbagai sumber daya alam (SDA) dan sumber daya sosial-kultural yang
fundamental, fungsional dan potensial, sebagian telah dikuasai modal
asing (PMA, investor) atas nama liberalisasi ekonomi.
Kebijaksanaan
Pemerintah sebagai termuat di dalam Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007
tentang PMDN dan PMA yang tertutup dan terbuka,
amat sangat memprihatinkan masa depan sosial, ekonomi, politik dan budaya
nasional Indonesia. Apabila Perpres tersebut ditingkatkan sebagai
undang-undang, maka globalisasi-liberalisasi sudah mencekam integritas NKRI
sebagai wujud neoimperialisme.
D.
Tantangan Globalisasi-Liberalisasi dan Postmodernisme
Demi tegaknya
integritas sistem kenegaraan Pancasila dan visi-misi nation and
character building, adalah kewajiban nasional (semua komponen bangsa) untuk
mampu meningkatkan wawasan nasional agar SDM warga negara kita
senantiasa mewaspadai tantangan: globalisasi-liberalisasi dan
postmodernisme. Juga tantangan nasional dalam era reformasi (yang
memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM) ---dalam praktek menjadi budaya neo-liberalisme
dan anarchisme--- yang mengancam integritas bangsa dan NKRI sebagai
sistem kenegaraan Pancasila.
Cukup mendesak program
pendidikan dan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila sebagai bagian dari
visi-misi nation and character building; terutama:
1.
Meningkatkan mental-moral manusia
dan warga negara RI sebagai satu bangsa Indonesia dalam NKRI sebagai negara
bangsa (nation state, negara kebangsaan) seutuhnya. Maknanya,
kondisi warisan budaya daerah dan kearifan lokal sebagai kebhinnekaan
(pluralisme) dalam nusantara secara kultural dan moral ditingkatkan menjadi
bangsa Indonesia. Jadi, pluralisme dan warisan keunggulan daerah (= kearifan
lokal), ditingkatkan dalam puncak budaya dan semangat kebangsaan dalam
integritas nasional: kesatuan nasional (tunggal ika) dan kebanggaan nasional.
Inilah jiwa kebangsaan dan jiwa nasional Indonesia yang melembaga dalam NKRI
berdasarkan Pancasila – UUD 45. Bandingkan dengan motto negara Amerika Serikat:
" E Pluribus Unum" (CCE 1994: 25).
2.
Bangsa dan NKRI hidup dalam dinamika dan
antar hubungan regional dan internasional. Bangsa Indonesia adalah bagian dari tatanan
peradaban dunia modern dalam semangat persahabatan dan kerjasama demi
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dunia abad XXI ditandai era globalisasi
– liberalisasi dan postmodernisme (pasca modernisme).
Dunia demikian menjadi medan adu kekuatan. Negara adidaya, dipelopori Amerika
Serikat dan Unie Eropa bergerak pesat merebut supremasi (keunggulan) politik,
ekonomi, budaya dan ipteks serta militer (hankam). Kita menyaksikan bagaimana
USA dan Unie Eropa bersama negara-negara industri maju lainnya (Jepang, RRC,
Australia) terus mendominasi politik dan ekonomi dunia. Kapitalisme –
liberalisme menggoda dan melanda dunia!
3.
Khusus dalam NKRI mulai era reformasi,
kita mengalami budaya politik liberal dan neo-liberalisme, demokrasi liberal,
termasuk ekonomi liberal…. Praktek politik memuja kebebasan (liberalisme,
neo-liberalisme) atas nama demokrasi dan HAM. Budaya dan praktek politik
mengalami degradasi nasional, degradasi mental dan moral. Atas
nama demokrasi dan HAM eks PKI (G.30S/PKI) melalui hujatan pelurusan sejarah,
mereka bangkit dengan berbagai gerakan. Ini tantangan atas integritas Pancasila
– UUD 45 dan NKRI, tantangan atas moral SDM Indonesia yang religious!
4.
Bangsa dan NKRI wajib waspada PKI
---sekarang terkenal sebagai Komunis Gaya Baru atau KGB--- adalah penganut marxisme-komunisme-atheisme.
Ajaran ini bertentangan dengan dasar negara Pancasila
yang beridentitas theisme-religious! Tegakkan asas moral
theisme-religious sebagai benteng menghadapi marxisme-atheisme.
Kekuatan neo-liberalisme yang hanya memuja kebebasan dan materi (kapitalisme),
yang berwatak moral individualisme-sekularisme sinergis dengan marxisme-komunisme-atheisme
yang memuja materi (materialisme) dan etatisme(memuja:
kedaulatan negara, negara = hanya ada satu partai politik dalam
negara, partai komunis sebagai partai negara)! Dalam sistem negara komunis
tidak ada demokrasi atau kedaulatan rakyat; yang ada hanya kedaulatan
negara yang dilaksanakan dengan otoritas tunggal partai
negara! Tidak ada moral Ketuhanan dan agama, karena marxisme
= atheisme! Karenanya, "tujuan menghalalkan semua cara!"
Secara filosofis-ideologis PKI melakukan gerakan separatisme ideologi
(= mengkhianati ideologi nasional) Pancasila!
5.
Tantangan nasional yang amat mendesak:
bagaimana rakyat dan negara kita mengatasi tantangan sosial ekonomi
yang menghimpit bangsa: kemiskinan, pengangguran; pendidikan biaya tinggi (RUU
BHP, UNAS); konflik horisontal sampai anarchisme. Kondisi demikian seyogyanya
ditangkal dengan pembinaan sistem ekonomi berdasarkan Pancasila – UUD 45 (Pasal
33) dan bukan mengikuti arus ekonomi liberal dan neo-imperialisme.
Mengapa kita setia
melaksanakan fatwa (amanat) IMF, AFTA dan APEC; sementara kita mengkhianati
amanat dasar negara Pancasila dan UUD Proklamasi yang imperatif! Apa kita setia
dan mengabdi untuk neoimperialisme; atau tetap mengabdi kepada bangsa dan
cita-cita nasional Indonesia raya!
Tantangan dimaksud secara normatif
filosofis-ideologis dan konstitusional terlukis dalam skema berikut; dengan catatan:
1. bacalah
skema ini mulai dari baris bawah ke atas;
2. perhatikan
komponen ideologi dari sisi kiri dan kanan; yang merebut supremasi sosial
politik dan ekonomi dalam forum internasional; dan
3. bagaimana
posisi NKRI (ditengah) himpitan dan tekanan antar sistem ideologi yang berebut
politik supremasi ideologi ---yang bermuara sebagai neo-imperialisme dalam postmodernisme.
Separatisme ideologi marxisme-komunisme-atheisme meruntuhkan
integritas NKRI sekaligus martabat moral manusia SDM Indonesia yang berKetuhanan
Yang Maha Esa (Pancasila + UUD 45 Pasal 29).
Pembudayaan Nilai Dasar
Negara Pancasila
Semua komponen bangsa
bersama Pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara berkewajiban untuk
membendung pengaruh, tantangan dan ancaman globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme
di atas, demi penyelamatan masa depan bangsa dalam integritas sistem kenegaraan
Pancasila.
Kewajiban demikian
merupakan amanat nasional dan amanat moral, karena ajaran paham dari sistem
ideologi mereka tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan ajaran sistem ideologi
kita (ideologi negara Pancasila). Karena, secara mendasar dan mendesak negara
berkewajiban meningkatkan pendidikan nasional sebagai kelembagaan pembudayaan
nilai dasar negara Pancasila.
Tegaknya asas dan
fungsi Pembudayaan dalam Fungsi Kelembagaan Negara di atas mutlak
dilandasi, dipersiapkan dan dididikkan bagi SDM warga negara sebagai subyek
pengelola sistem kenegaraan Pancasila, melalui pendidikan nilai dasar
negara Pancasila + UUD 45 secara signifikan.
Sebaliknya,
terlaksananya pendidikan nilai dasar negara Pancasila, berkat mantapnya
kebijaksanaan kepemimpinan dan kelembagaan nasional yang mengemban amanat
sistem kenegaraan Pancasila + UUD 45.
Mulai
konsepsi sistem nasional yang terpercaya
(berkembang dinamis), sampai pelaksanaan atau prakteknya,
sesungguhnya adalah proses p e m b
u d a -y a a n yang efektif dan berdaya guna.
Thema
Pembudayaan Nilia Filsafat Pancasila, mengandung makna:
1. Mendidikkan
nilai-nilai filsafat moral Pancasila bagi generasi penerus
sebagai manusia dan warga negara RI (supaya dengan sadar mampu mengamalkan);
untuk menjamin tegaknya kemerdekaan, kedaulatan dan integritas NKRI; sebagai sistem
kenegaraan Pancasila. Bagi generasi penerus perlu ditingkatkan
pendidikan PKn, ketahanan nasional, ideologi Pancasila; IPS dan sejarah
nasional.
2. Membudayakan
(moral filsafat Pancasila) yang secara filosofis-ideologis terjabar secara konstitusional
di dalam sistem kenegaraan NKRI berdasarkan Pancasila - UUD 45; dikembangkan
dan ditegakkan dalam N-sistem nasional.
Sistem kenegaraan RI
secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan mewujudkan asas
normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila)
sebagai kaidah fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam
kelembagaan negara bangsa (nation state).
Juga
bagi masyarakat pada umumnya, terutama kader orsospol dan tenaga-tenaga
pelaksana aparatur negara; bahkan juga kelembagaan nasional seyogyanya
diberikan program pembudayaan nilai dasar negara Pancasila, secara melembaga
yang dikelola oleh lintas kelembagaan (departemental dan nondepartemental).
Kelembagaan dimaksud supaya lebih mantap dan representatif, dapat diusulkan
alternatif berikut: Depdiknas, Depag, LIPI, Komnas HAM, Lemhannas, Dewan
Ketahanan Nasional; Menegpora, Dekominfo, dan berbagai komponen kelembagaan
keagamaan: MUI, DGI dsb.
Diharapkan
pembudayaan nilai dasar negara Pancasila dapat meningkatkan kesadaran nasional
dan Ketahanan Nasional sebagai benteng penangkal degradasi
wawasan nasional yang kita rasakan dalam era reformasi.
E.
Pokok-pokok
Pikiran
Berdasarkan uraian
ringkas yang terkandung dalam thema Seminar Nasional ini, maupun sub-thema
dalam makalah ini, diharapkan beberapa pokok pikiran berikut dapat dijadikan
bahan pertimbangan dalam menghadapi tantangan yang makin meningkat, baik
internasional (global, eksternal) maupun nasional (internal).
Adanya keyakinan
bangsa atas keunggulan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45 menjamin
bangsa untuk menegakkan kepemimpinan nasional dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara dengan asas budaya dan moral luhur sebagaimana diamanatkan
pendiri negara (PPKI) dalam UUD Proklamasi seutuhnya.
Pokok-pokok pikiran
berikut mendorong kepemimpinan nasional, kelembagaan negara maupun komponen
bangsa; termasuk berbagai partai politik dan elite reformasi untuk merenungkan
(refleksi) demi masa depan bangsa dan NKRI, serta generasi muda bangsa sebagai
potensi dan generasi penerus.
1.
Keunggulan sistem filsafat Pancasila
sebagai ideologi nasional secara fundamental terpancar dalam integritas
martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Artinya,
sistem ideologi Pancasila menjamin integritas moral SDM dan kepemimpinan
nasional untuk ditegakkan dalam moral dan budaya sosial politik dan ekonomi
dalam NKRI.
2.
Dasar negara Pancasila terjabar dalam
UUD 45 seutuhnya secara valid dan orisinal berkat dirumuskan oleh PPKI dengan
jiwa pengabdian, dan kearifan kenegarawanan yang tulus ---tanpa interest dan
kepentingan golongan; bahkan dari mayoritas atas minoritas---; bukan sebagai
yang kita saksikan dalam praktek budaya politik era reformasi.
Keabsahan
nilai mendasar ini menjadi landasan dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan
dalam NKRI.
3.
UUD Proklamasi (Pembukaan-Batang
Tubuh-Penjelasan) adalah perwujudan dan pedoman sistem kenegaraan yang unggul terpercaya; sebagai negara
berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum dalam
integritas NKRI sebagai nation state yang ditegakkan dengan asaswawasan
nasional, wawasan nusantara dan asas kekeluargaan. Asas fundamental ini
menjadi landasan konstitusional membangun bangsa dalam NKRI yang adil dan
sejahtera, jaya dan bermartabat.
4.
Integritas nilai dasar negara Pancasila
sebagai filsafat hidup, dasar negara dan ideologi nasional secara
konstitusional menjamin masa depan bangsa dalam dinamika dan kompetisi antar
ideologi yang berjuang merebut supremasi. Artinya, bagaimanapun gejolak dunia
postmodernisme (cermati isi nilai dalam skema 7), insya Allah bangsa dan NKRI
tegak dalam integritas sebagai kenegaraan Pancasila. Untuk tujuan ini negara
berkewajiban melaksanakan visi-misi nation and character building
melalui pendidikan dan pembudayaan dasar negara Pancasila (secara melembaga dan
lintas lembaga).
5.
Kondisi reformasi dan amandemen UUD 45
(= UUD 2002) secara fundamental dan konstitusional cukup
mengandung distorsi filosofis-ideologis dan konstitusional. Karenanya,
berdampak langsung terhadap proses degradasi wawasan nasional, sosial politik
dan ekonomi bangsa. Kondisi demikian bermuara kepada disintegrasi nasional dan
NKRI.... yang pada gilirannya tercengkeram oleh neo-imperialisme!
6.
Reformasi yang memuja kebebasan atas
nama demokrasi dan HAM mengancam integritas nasional dan integritas NKRI;
bahkan integritas mental dan moral SDM Indonesia, mulai pemimpin sampai
generasi penerus.
7.
Kebebasan atas nama HAM dengan praktek
demokrasi liberal melanda budaya sosial ekonomi bangsa termasuk dunia dan
lembaga kependidikan nasional. Peluang kebebasan cukup dimanfaatkan untuk
kebangkitan neo-PKI/KGB yang memperjuangkan marxisme-komunisme-atheisme sebagai
wujud separatisme ideologi. Proses degradasi mental dan moral
demikian meruntuhkan moral dan martabat manusia Indonesia dan integritas sistem
kenegaraan Pancasila.
Bagaimana tantangan dan
ancaman ini dihadapi oleh MPR RI dalam menegakkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966
dan UU RI No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana
yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (terutama pasal 107a –
107f)
UUD
45 amandemen (= UUD 2002) menyimpang dari asas kerokhanian bangsa dan kaidah
fundamental negara (Pembukaan UUD 45) menjadi demokrasi liberal dan
praktek negara federal! Kondisi demikian tidak dijiwai asas moral dan budaya
politik demokrasi Pancasila dan ekonomi Pancasila. Fenomena elite
reformasi dapat dianggap mengkhianati asas moral dan dasar negara Pancasila.
Karenanya, kondisi bangsa dan NKRI dalam era reformasi makin memprihatinkan
dalam semua bidang kehidupan!
Semoga bangsa dan NKRI
berdasarkan Pancasila – UUD 45 senantiasa dalam pengayoman Tuhan Yang Maha Esa,
Allah Yang Maha Kuasa, Yang menganugerahkan dan mengamanatkan kemerdekaan
nasional dalam integritas NKRI. Amien.
DAFTAR
RUJUKAN