Followers

Diberdayakan oleh Blogger.
SELAMAT DATANG di Pembelajaran Inovatif 2 MATEMATIKA, Support By Vickri ,Telp:0896 9966 8625

MAKALAH PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI PANCASILA/ NASIONAL DAN GLOBAL

Diposting oleh vickri's world Jumat, 10 April 2015

MAKALAH
PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI PANCASILA/ NASIONAL DAN GLOBAL

Diajukan untuk memenuhi tugas mata Pendidikan Kewarganegaraan


Oleh    :
Vickri Irawan
NIM :1331112
Matematika 2013 D


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN  ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SIDOARJO
2013


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan YME dan dengan rahmat dan karunianya, Makalah Pkn ini dapat kami buat sebagai tugas kami.Sebagai bahan pembelajaran kami dengan harapan dapat di terima dan di pahami secara bersama.
Dalam batas-batas tertentu makalah ini memuat TentangPembudayaan Nilai-Nilai Pancasila/ Nasional dan Global.Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Pkn.Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami dengan kerendahan hati meminta maaf  jika terdapat kesalahan dalam penulisan atau penguraian makalah kami. Dengan Harapan dapat di terima oleh bapak dan dapat di jadikan sebagai acuan dalam proses pembelajaran kami. 

Sidoarjo, April 2014


Penyusun












DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................... 2
Daftar Isi............................................................................................................................. 3

BAB 1 : Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 4
B.     Perumusan Masalah................................................................................................. 4
C.     Tujuan Pembuatan Makalah.................................................................................... 4

BAB II : Pembahasan
A.    Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila/ Nasional dan Global...................................... 5
B.     Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa............................. 7
C.     Pancasila dalam Politik Pendidikan Nasional.......................................................... 9
D.    Tantangan Globalisasi-Liberalisasi dan Postmodernisme........................................ 19
E.     Pokok-Pokok Pikiran............................................................................................... 23

Daftar Rujukan.................................................................................................................... 26












BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu kenyataan bahwa kemerosotan akhlak serta penghormatan pada nilai-nilai pancasila akhir-akhir ini tidak hanya menimpa kalangan orang dewasa tetapi telah merembet pada kalangan pelajar tunas-tunas muda.Orang tua, pendidik, dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak mengeluh terhadap perilaku mereka yang tidak baik.Perilaku mereka yang nakal, keras kapala, mabuk-mabukan, tawuran, pergaulan bebas, pesta obat-obatan terlarang, bergaya hidup mewah dan pendek kata perilaku mereka tidak mencerminkan pelajar yang berpendidikan.
Sehingga makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas saya kepada dosen Pkn. Dan karena begitu pentingnya materi ini dan untuk menambah pematerian. Dengan ini saya membuat makalah Pkn tentang Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila/ Nasional dan Global.

B. Perumusan Masalah
            Kita dapat memenuhi apa yang dimaksud dengan Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila/ Nasional dan Global dan digunakan serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

C. Tujuan Pembuatan Makalah
            Makalah ini dibuat bertujuan untuk membantu mempermudah pembelajaran serta melengkapi pematerian.




BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila/ Nasional dan Global
Pancasila sebagaimana ditetapkan PPKI sebagai Dasar Negara Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 paling tidak memiliki dua fungsi  yaitu pertamasebagai simbol yang mengukuhkan pendirian negara modern Indonesia yang merdeka. Ia menjadi tanda kesepakatan pendirian republik modern dimana di dalamnya bernaung berbagai kelompok, suku agama, dan wilayah. Di sini Pancasila bersifat pragmatis dalam arti ia sengaja dipilih untuk menjamin suatu kesatuan dan integrasi politik yang bernama Republik Indonesia. Kedudukan ini secara mencolok nampak dalam penetapan kembali sila-sila Pancasila ke dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya, Pancasila harus dilihat sebagai visi bersama bagi pencapaian-pencapaian tujuan negara yang diperjuangkan.
Yang kedua, Pancasila juga dikukuhkan sebagai wawasan politik atau ideologi negara. Posisi semacam ini tak pelak menjadikan Pancasila sebagai arena yang terbuka terhadap pemaknaan politik. Pemaknaan terhadap Pancasila terus berkembang dan berubah sesuai dengan konteks historis pada suatu masa tertentu. Pada masa demokrasi parlementer (liberal) misalnya, Pancasila merupakan rujukan bagi pelaksanaan praktik sistem pemerintahan liberal. Pada masa demokrasi terpimpin, Pancasila merupakan landasan bagi praktek politik nasakom, ekonomi termpimpin dan demokrasi terpimpin. Sedangkan pada masa Orde Baru, Pancasila dimaknai sebagai dasar bagi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik yang antikomunis sekaligus juga antilberal. Artinya Pancasila merupakan musuh utama dari paham/aliran komunisme dan liberal dalam pengertian politik, sementara pada masa demokrasi terpimpin, Pancasila adalah pengayom bagi semua pemikiran dan ideologi termasuk agama, nasionalisme dan komunisme.
Selama masa Indonesia merdeka, Pancasila merupakan empty signifier, penanda tanpa petanda, signified tanpa signifier. Artinya, Pancasila terus menerus dimaknai, tanpa adanya pemaknaan yang tetap dan abadi (fixed). Pancasila merupakan empty signifier bagi kontestasi pemaknaan dan simbolisasi dalam partikularitas suatu rentang waktu. Tiap kekuasaan pada suatu waktu, menggunakan kekuasaannya untuk memaknai Pancasila, dan menjadikannya diskursus hegemonik. Seiring runtuhnya kekuasaan suatu rezim, runtuh pulalah sistem pemaknaan dan simbolisasi terhadap Pancasila, diisi dengan pemaknaan baru, dan diskursus hegemonik baru, menggantikan yang sebelumnya, dan terus menerus.
Sebagai dasar negara, Pancasila yang digali dari budaya dan pengalaman kehidupan masyarakat Indonesia didesain sebagai rujukan bagi para penyelenggara negara dan segenap warga negara dalam melaksanakan aktivitas kehidupannya dalam berbagai bidang dan aspeknya. Namun realitas menunjukkan pemaknaan nilai-nilai Pancasila semakin jauh dimiliki oleh setiap warga negara. Dalam pidato politik berkaitan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni Tahun 2006 yang laluPresiden Susilo Bambang Yudhoyono mensinyalir adanya keengganan bangsa kita untuk berbicara tentang Pancasila, seperti penegasan berikut:
“….Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini, di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negara kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan, dan lain-lain, karena bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis…” (Yudhoyono, 2006:xv)
Apa yang disinyalir oleh Presiden SBY sebagaimana diutarakan di atas, tentu bukan tanpa argumentasi. Betapa tidak, tatkala euforia reformasi melanda negeri kita, juga diiringi dengan perubahan lingkungan strategis nasional, regional, maupun global yang terjadi dalam eskalasi yang cepat, ternyata tidak diikuti dengan penyikapan secara proporsional oleh segenap warga negara dalam memandang keberhasilan reformasi tersebut. Sikap dan perilaku tidak proporsional tersebut antara lain terejawantahkan melalui tuntutan kebebasan yang tak terbatas. Secara akumulatif, sikap dan tindakan aproporsional itu ternyata telah mampu menggerus rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan, yang berujung pada keengganan komponen bangsa kita; pelajar, mahasiswa, generasi muda, pengusaha, tak terkecuali kalangan aparatur pemerintah sendiri, untuk membicarakan Pancasila.
Apa penyebab tindakan aproporsional tersebut? Menurut Somantri (2006) Pancasila mempunyai stigma karena sepak terjang rezim otoriter Orde Lama maupun Orde Baru. Orde Lama menggiring Pancasila pada ortodoksi ideologis Manipol-Usdek bahkan konsepsi simplistik Nasakom. Sementara Orde Baru memerosokkan Pancasila pada jeram mistifikasi dan ideologisasi monologis Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan asas tunggal. Sehingga Pancasila yang di awal kelahirannya secara eksistensialis ibarat sebuah keajaiban yang maujud, kemudian di era reformasi hampir dilupakan dan dianggap ideologi kalah, bahkan analog dengan rezim Orde Baru itu sendiri. Padahal Pancasila bukanlah milik sebuah rezim tertentu. Ia secara substansialis dirumuskan sebagai grundsnorm bagi konsensus untuk merekatkan aneka ragam kelompok masyarakat kepulauan yang besar jumlahnya, berbeda-beda dan hidup di kawasan yang luas, untuk berdiri tegak di wilayah negara kesatuan bernama Indonesia.
Kelekatan rezim Orde Baru dengan mistifikasi dan ideologisasi Pancasila membawa implikasi penistaan Pancasila tatkala rezim berganti (Somantri, 2006). Pergantian rezim berimplikasi pada skenario demistifikasi dan pengenyahan Pancasila yang menyertakan penanggalan simbol, bahasa, dan instrumen-instrumen politik rezim Orde Baru. Tidak terkecuali dalam politik pendidikan. Pendidikan Pancasila yang sejatinya menjadi alat untuk proses pembudayaan dan pelembagaan nilai-nilai Pancasila direduksi dengan dalih integrasi ke dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana memaknai dan menempatkan Pancasila setelah pemaknaannya oleh Orde Baru runtuh? Bagaimana pula membudayakan dan melembagakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era reformasi sekarang? Tidak dapat dipungkiri bahwa baik sebagai sebuah perjanjian yang memateraikan pendirian republik, dan sebagai ideologi bangsa, nilai-nilai Pancasila berada jauh dengan implementasinya.

B.     Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Pancasila sebagaimana dirumuskan oleh penggalinya adalah pandangan hidup yang muncul dalam mengenali realitas sosio-politik bangsa Indonesia. Pancasila adalah upaya dan muara yang paling mungkin untuk disepakati dari beragamnya aspek plural kehidupan masyarkata Indonesia. Rumusan Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea IV, terdiri atas lima sila, asas atau prinsip yaitu:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sedangkan secara entitas, Pancasila itu sendiri pada hakekatnya ia adalah nilai (Kaelan, 2002). Nilai atau value adalah sesuatu yang berharga, berguna bagi kehidupan manusia. Nilai memiliki sifat sebagai realitas yang abstrak, normatif dan berguna sebagai pendorong tindakan manusia. Kelima sila, asas atau prinsip Pancasila di atas dapat dikristalisasikan ke dalam lima nilai dasar yaitu nilai KeTuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Pancasila yang berisi lima nilai dasar itu ditetapkan oleh bangsa Indonesia sebagai dasar negara dan ideologi nasional Indonesia sejak tahun 1945 yaitu ketika ditetapkan Pembukaan UUD NRI oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kedudukannya sebagai dasar negara dan ideologi nasional ini dikuatkan kembali melalui Ketetapan MPR RI No. XVIII/ MPR/1998 yang mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4 sekaligus secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai dasar negara (Yudhoyono, 2006:xvi). Pancasila sebagai dasar negara berkonotasi yuridis, sedang Pancasila sebagai ideologi dikonotasikan sebagai program sosial politik (Mahfud MD, 1998 dalam Winarno, 2010). Pancasila telah menjadi dasar filsafat negara baik secara yuridis dan politis (Kaelan, 2007:12)
Pancasila sebagai dasar negara dapat ditinjau dari aspek filosofis dan yuridis. Dari aspek filosofis, Pancasila menjadi pijakan bagi penyelenggaraan bernegara yang dikristalisasikan dari nilai-nilainya. Dari apek yuridis, Pancasila sebagai dasar negara menjadi cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Politik pembangunan hukum di Indonesia dengan kerangka nilai Pancasila memiliki kaidah kaidah penuntunnya.
Pancasila sebagai sumber dan kaidah penuntun hukum itu selanjutnya dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum formal. Jalinan nilai nilai dasar Pancasila dijabarkan dalam aturan dasar (hukum dasar) yaitu UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasal yang mencakup berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Aturan-aturan dasar dalam UUD 1945 selanjutnya dijabarkan lagi dalam undang-undang dan peraturan dibawahnya. Hieraki hukum Indonesia yang terbentuk ini berbentuk piramida yang dapat dilihat dan sejalan dengan Stufenbautheorie (teori jenjang norma) dari Hans Kelsen, dimana Pancasila sebagai Grundsnorm berada di luar sistem hukum, bersifat meta yuristic tetapi menjadi tempat bergantungnya norma hukum
Pada posisinya sebagai ideologi nasional, nilai-nilai Pancasila difungsikan sebagai nilai bersama yang ideal dan nilai pemersatu. Hal ini sejalan dengan fungsi ideologi di masyarakat yaitu: Pertama, sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat. Kedua, sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat (Ramlan Surbakti, 1999 dalam Winarno, 2010). Dalam kaitannya dengan yang pertama nilai dalam ideologi itu menjadi cita-cita atau tujuan dari masyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat adalah untuk mencapai terwujudnya nilai-nilai dalam ideologi itu.
Sedangkan dalam kaitannya yang kedua, nilai dalam ideologi itu merupakan nilai yang disepakati bersama sehingga dapat mempersatukan masyarakat itu serta nilai bersama tersebut dijadikan acuan bagi penyelesaian suatu masalah yang mungkin timbul dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Pancasila sebagai ideologi nasional ini dapat dipandang dari sisi filosofis dan politis. Dari aspek filosofis, nilai-nilai Pancasila menjadi dasar keyakinan tentang masyarakat yang dicita-citakan (fungsi pertama ideologi). Dari aspek politik Pancasila merupakan modus vivendi atau kesepakatan luhur yang mampu mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam satu nation stateatas dasar prinsip persatuan (fungsi kedua ideologi). Pancasila menjadi nilai bersama atau nilai integratif yang amat diperlukan bagi masyarakat yang plural.

C.     Pancasila dalam Politik Pendidikan Nasional
Dalam konteks pendidikan nasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa mengalami fluktuasi tafsiran dari setiap rezim yang berkuasa, bukan hanya masa orde baru yang selama ini kita anggap sebagai rezim yang paling getol memberikan tafsir tetapi juga sudah dimulai sejak rezim pemerintahan presiden Soekarno pada masa orde lama (Samsuri, 2009).
Pada tahun 1959/1960-an ketika gegap gempita Demokrasi Terpimpin begitu kuat di panggung politik ketika itu, telah diperkenalkan mata pelajaran Civicsdalam dunia pendidikan Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya satu buku terbitan Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) yang berjudul “Civics: Manusia Indonesia Baru,” karangan Mr. Soepardo, dkk. Materi buku itu berisi tentang Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia; Pancasila; UUD 1945; Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin; Konferensi Asia-Afrika, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Manifesto Politik; Laksana Malaikat; dan lampiran-lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pidato Lahirnya Pancasila, Panca Wardana, dan Declaration of Human Rights; serta pidato-pidato lainnya dari Presiden Sukarno dalam “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (Tubapi) (Muchson, 2004:30). Buku “Civics” dan Tubapi tersebut kemudian menjadi sumber utama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah, dengan ciri indoktrinasi yang sangat dominan.
Perkembangan berikutnya, mata pelajaran “Civics” yang kemudian diganti menjadi “Kewargaan Negara” pada 1962, pada Kurikulum 1968 ditetapkan secara resmi menjadi “Pendidikan Kewargaan Negara.” Di dalam kurikulum ini, penjabaran ideologi Pancasila sebagai pokok bahasan dianggap mengedepankan kajian tata negara dan sejarah perjuangan bangsa, sedangkan aspek moralnya belum nampak (Aman, dkk., 1982:11).
Pada masa orde baru, tafsir ideologis negara dalam bidang pendidikan mulai menampakkan kekuatannya ketika secara formal, GBHN 1973 menyebut perlunya: “Kurikulum di semua tingkat pendidikan …berisikan Pendidikan Moral Pancasila….” Apabila dicermati, nampak jelas bahwa Pancasila ditafsirkan dalam masing-masing pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan bahan pengajaran, dengan nuansa Civics Kurikulum 1968.
Materi tafsir ideologi nasional dalam PMP makin indoktrinatif ketika MPR telah menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). P4 ini mengharuskan setiap warga negara dan aparatur negara untuk melaksanakannya. Dalam lapangan pendidikan, P4 ini menjadi “roh” dan “mata air” dari mata pelajaran PMP sampai dengan diubah namanya menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada Kurikulum 1994.
Istilah PPKn lebih dikuatkan dan ditegaskan dengan keluarnya keputusan Mendikbud No. 061/U/1993 tenang Kurikulum Pendidikan Dasar dan Kurikulum Sekolah Menengah Umum yang antara lain menyebutkan bahwa PPKn adalah mata pelajaran yang digunakan untuk wahana mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia.
Selama periode Orde Baru, pendidikan sebagai instrumen pembentukan karakter warga negara menampakkan wujudnya dalam standarisasi karakter warga negara. yang disajikan dalam mata pelajaran PMP dan atau PPKn dengan memasukan secara membabi-buta tafsir Pancasila menurut P4. Pancasila direduksi menjadi 36 butir tafsir pengamalan nilai-nilai Pancasila. P4 inilah yang kemudian menjadi keharusan pedoman atau arah tingkah laku warga negara.
Dalam versi lain, menurut Samsuri (2009) Pancasila tidak hanya direduksi dalam 36 butir P4, tetapi di dalam mata pelajaran PPKn Kurikulum 1994 ditambah menjadi 45 butir. Sebagai contoh hal ini dapat dilihat dalam materi PPKn untuk SMA yang disebut sebagai konsep nilai, moral dan norma Pancasila seperti diperlihatkan dalam Tabel 1.

Tabel 1     Konsep Nilai, Moral dan Norma Pancasila dalam GBPP PPKn SMA dan Pola Penyebaran serta Acuan Pengembangannya
Sila-Sila Pancasila
Pokok Bahasan Kelas I
Pokok Bahasan Kelas II
Pokok Bahasan Kelas III
Ketuhanan Yang Maha Esa
1. Toleransi
4. Ketaqwaan
7. Kerukunan
2. Kerukunan
5. Saling menghormati
8. Nilai Luhur
3. Keselarasan
6. Kerjasama
9. Keyakinan
Kemanusiaan yang adil dan beradab
10. Menghargai
13. Keramah tamahan
16. Keadilan-kebenaran
11. Persamaan derajat martabat
14. Keserasian hidup
17. Kecintaan
12. Kasih sayang
15. Martabat dan harga diri
18. Tenggang rasa
Persatuan Indonesia
19. Cinta tanah air
22. Kesatuan
25. Kebanggaan
20. Patriotisme
23. Kesetiaan
26. Kebulatan tekad
21. Kewaspadaan
24. Kesatuan-persatuan
27. Kesetiaan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
28. Kebijaksanaan
31. Keikhlasan dan Kejujuran
34. Ketaatan
29. Musyawarah
32. Tanggung jawab
35. Keikhlasan
30. Ketertiban
33. Nilai Lebih Demokrasi Pancasila
36. Pengendalian diri
Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
37. Pengabdian
40. Kedisiplinan
43. Keadilan sosial
38. Kegotongroyongan
41. Kesederhanaan
44. Bekerja sama
39. Kepentingan umum
42. Kecermatan dan hidup hemat
45. Tolong menolong
Sumber: Djahiri dan Wahab (1996:85) Samsuri (2009)

Meskipun Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 Pasal 1 menjelaskan bahwa “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya,” tetapi P4 menjadi kelihatan lebih penting dari Pancasila itu sendiri. Lebih jauh, P4 dan Pancasila menjadi “kata sakti” dalam segenap kesempatan pejabat dari tingkat pusat hingga lokal dalam forum-forum formal maupun non formal (Samsuri, 2009).
Dari gambaran tersebut, nilai-nilai yang menjadi materi pokok pembelajaran PMP ataupun PPKn berasal dari “atas” (rejim yang sedang berkuasa), bukan dari kehendak masyarakat pendidikan (arus bawah). Konsekuensinya nilai-nilai yang menjadi model materi pembelajaran pun cenderung hipokrit dan jauh dari aspirasi ilmiah (keilmuan), sehingga PMP ataupun PPKn terkesan tidak jauh beda dengan mata pelajaran Civics atau pun Kewargaan Negara pada masa rejim Soekarno 1960an (Samsuri, 2009).
Dewasa ini, sejalan dengan berlakunya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka mata pelajaran PPKn diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai Mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006).
Berdasarkan kajian Pancasila dalam politik pendidikan di atas, kita menemukan bahwa proses pembudayaan nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan melalui pembelajaran PKn. Secara umum hasil-hasil penelitian tentang PKn di berbagai negara sesungguhnya menyimpulkan bahwa PKn mengarahkan warga negara itu untuk mendalami kembali nilai-nilai dasar, sejarah, dan masa depan bangsa bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai paling fundamental yang dianut bangsa bersangkutan.
Dari perspektif teori fungsionalisme struktural, sebuah negara bangsa yang majemuk seperti Indonesia membutuhkan nilai bersama yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative value), titik temu (common denominator), jati diri bangsa (national identity) dan sekaligus nilai yang dianggap baik untuk diwujudkan (ideal value). Nilai bersama ini tidak hanya diterima tetapi juga dihayati. Dalam pandangan teori kewarganegaraan communitarian, sebuah komunitas politik bertanggung jawab memelihara nilai-nilai bersama (common values) tersebut dalam rangka mengarahkan individu (Winarno, 2010). Melalui PKn nilai-nilai bersama yang merupakan komitmen sebuah komunitas diinternalisasikan sehingga tumbuh penghayatan terhadapnya.
Dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi pendidikan kewarganegaraan yakni civic education dan citizenship education. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai “…the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives”, atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatn­ya. Sedangkancitizenship education atau education for citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “…both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totali­ty of the citizen”.
Di sisi lain, David Kerr (1999) mengemukakan bahwa Citizenship or Civics Education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching and learning) in that preparatory process. (Kerr, 1999:2) atau PKn dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan warganegara tersebut.
Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship educationlebih luas cakupan pengertiannya daripada civic education. Dengan cakupan yang luas ini maka citizenship education meliputi di dalamnya PKn dalam arti khusus (civic education). Citizenship education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga negara muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, sedang civic education adalah citizenship education yang dilakukan melalui persekolahan.
Untuk konteks di Indonesia, citizenship education atau civic education dalam arti luas oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan istilah pendidikan kewarganegaraan (Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan (Azra, 2002). Secara terminologis, PKn diartikan sebagai pendidikan politik yang yang fokus materinya peranan warga negara dalam kehidupan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (Cholisin, 2000 dalam Samsuri, 2011).
Pancasila sebagai dasar negara sudah berumur lebih dari 67 tahun. Kualifikasi Pancasila sebagai dasar negara resmi tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Sederetan data dan bukti sejarah sejak Pembukaan sidang pertama Dokuritsu Junbi Choosakai tanggal 29 Mei 1945 sampai disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 menunjukkan asal-muasal atau tujuan bangsa Indonesia merumuskan Pancasila sebagai dasar negara tersebut.
Perlu diingat bahwa jauh sebelum dicapai rumusan Pancasila yang final itu, nilai-nilai Pancasila telah membumi di dalam adat-istiadat, kebiasaan dan agama-agama di Indonesia. Nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari mengejawantah dalam bentuk pandangan hidup bangsa. Dalam posisi demikian, Pancasila senantiasa berada dalam kesatuan dengan manusia Indonesia, diterima dan dijadikan ukuran, petunjuk dan pedoman dalam kehidupan segala bidang, baik ketika sendirian maupun ketika berinteraksi dengan manusia lain, alam semesta sampai kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wajarlah oleh karenanya, Pancasila yang demikian itu sering disebut pula sebagai jiwa bangsa, kepribadian bangsa, perjanjian luhur bangsa, sumber dari segala sumber hukum, cita-cita bangsa, alat pemersatu bangsa, falsafah bangsa, dan sebagainya.
Dalam perjalanan kehidupan sebagai bangsa, Pancasila seakan akrab dengan berbagai ujian. Berbagai macam tantangan, keluhan, kritik, sampai penolakan, baik dilakukan secara terang-terangan ataupun tersembunyi pernah menimpa Pancasila.  Hebatnya, selama ini Pancasila dan bangsa Indonesia mampu menjawab semua ujian itu dengan tangkas dan elegan. Walau demikian, kita mesti waspada, bahwa di era reformasi ini dan di era-era lain yang akan datang, sangat mungkin ujian terhadap esensi dan eksistensi Pancasila masih akan bermuncul dalam berbagai bentuk dan cara yang lebih canggih. Sekali lagi kita mesti waspada. Ujian-ujian itu justru wajib kita pandang sebagai tantangan dan sekaligus peluang untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih dewasa, agar ke depan semakin mampu memberikan kontribusi bagi kebahagiaan bangsa maupun dunia.
Tak dapat dipungkiri bahwa pada dua dekade terakhir, ada kegelisahan pada sementara pecinta, pengagum dan penjaga keselamatan Pancasila, terhadap realitas negatif yang terus berkembang baik kuantitatif maupun kualitatif yang memandang sinis terhadap Pancasila. Pancasila tidak diajarkan di sekolah-sekolah, tidak dijadikan rujukan penyusunan peraturan perundang-undangan, tidak diimplementasikan dalam kehidupan. Pancasila, hanya ada sebatas formalitas untuk irah-irah vonis hakim, atau undang-undang, selebihnya tidak menjadi sumber inspirasi, motivasi maupun nilai dari vonis maupun undang-ndang itu. Betapa banyak, vonis hakim yang jauh dari keadilan sosial, betapa banyak undang-undang yang jiwanya bertentangan dengan Pancasila. Singkat kata, kita ber-Pancasila masih pada tataran bentuk (formal) tetapi belum sampai pada isi (substansi), masih sekedar memenuhi legalitas tetapi belum peduli terhadap legimitas. Artinya, Pancasila hadir dalam bentuk simbol-simbol tetapi maknanya belum menyentuh dan mewarnai sikap, perilaku bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin dalam kondisi demikian kita bahagia? Alih-alih, bahagia, adil dan makmur, justru kondisi bangsa saat ini cenderung porak-poranda, rentan terhadap kekerasan, perpecahan dan “kolonisasi” bangsa asing.
Terkait dengan latar belakang sejarah dan pemikiran yang berbeda-beda, setiap negara memiliki keunikan tersendiri dalam hal pandangan hidup dan dasar negara yang dipilihnya. Rechtsstaat yang dianut Jerman, Rule of Law di Inggris, Big Brother dalam tradisi Jepang, dan Pancasila bagi Indonesia, membawa kita pada pendapat bahwa setiap bangsa dan negara adalah suatu unikum. Masing-masing memiliki nilai-nilai yang tertanam dalam habitat kehidupannya, baik yang bersifat fisik, sosial bahkan transendental. Globalisasi yang semakin meningkat, boleh jadi mampu memperluas pemahaman satu bangsa atas bangsa lain, akan tetapi tidak mungkin menghapuskan keunikan dan kemajemukan pandangan hidup dan dasar negaranya masing-masing.
Jepang, kiranya dapat dijadikan sebuah contoh negara yang setia pada pandangan hidupnya yang khas. Bahwa kekalahan Jepang pada perang dunia II atas Sekutu, desakan Barat agar Jepang menerima modernisme, serta gencarnya arus globalisasi, ternyata tidak menjadikan Jepang liberal dan individualis, melainkan tetap pada jati dirinya sebagai bangsa yang memegang teguh kokoro (hati nurani), menjaga suasana kekeluargaan, Negara memainkan peran sebagai institute Big Brother (Kakak) yang selalu berbuat baik untuk kebahagiaan rakyat (Adik). Keunikan Jepang itu, pantas menjadi ilham bagi bangsa Indonesia untuk berani berbuat serupa dalam mempertahankan Pancasila sebagai pandangan hidup maupun dasar negara. Kalau sikap dan perilaku demikian secara konsisten dapat kita ejawantahkan pada segala bidang kehidupan, bukan tidak mungkin (bahkan menjadi keniscayaan) dalam waktu relatif singkat bangsa Indonesia akan kembali meraih kejayaannya sebagai bangsa bermartabat, disegani dan dihormati bangsa atau negara lain.
Bilamana kita bersedia menyimak dengan seksama terhadap sikap dan perilaku siapapun yang tidak setuju dengan Pancasila, sebenarnya sikap dan perilaku demikian karena faktor ketidak-pahaman mereka tentang Pancasila itu sendiri. Apalah artinya kata-kata ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, musyawarah dan sebagainya itu, apabila sikap dan perilaku warga negara maupun penyelenggara negara senatiasa condong kepada tahta dan harta benda duniawi, serta merta lalai terhadap rambu-rambu hukum ilahiah, mengedepankan otoritas dan kekuatan, serta tega terhadap kenestapaan orang lain, tak peduli terhadap kehancuran bangsa dan negara. Pancasila, memang perlu dipahami secara kontekstual, dan bukan sekedar tekstual. Nilai-nilai Pancasila sebagai sistem nilai, tidak sekali-kali memisahkan (sparate out) seseorang dari konteks sosial, alam semesta maupun sangkan paraning dumadi. Segalanya menjadi utuh, menyatu dan berkarakter holistik. Dalam konteks demikian, maka apapun yang kita pikirkan, kita lakukan atau tidak kita lakukan, tiada lain dalam bingkai keutuhan sebagai bangsa, tanpa mengurangi hak dan rasa hormat sebagai warga negara atau penyelenggara negara. Di situlah, semua entitas terhubung dalam keakraban lahir-batin, saling memberi, saling melengkapi, dalam kebersamaan, kekeluargaan membangun negeri, yang muaranya pada keridhaan Illahi Robbi.
Kontekstualisasi pembudayaan Pancasila, pada tataran praksis, dapat dilakukan antara lain dengan pembudayaan musyawarah dan mengeliminir gemar berperkara (les adjudication, more inquisitorial). Budaya masyawarah, secara potensial akan menjadikan hasil akhir yakni kesepakatan sebagai milik dan tanggung jawab bersama, sehingga dalam rentang perjalanan pengimplementasian kesepakatan itu tidak akan saling menyalahkan, merasa paling berjasa, apalagi “menjegal” kawan seiring, berkhianat dalam perjuangan. Lebih dari itu, budaya musyawarah akan mampu menepis masuknya nilai permusuhan, perpecahan, dendam, memandang pihak lain sebagai rival (pesaing) yang mesti dikalahkan. Budaya musyawarah, justru menempatkan persaingan dalam konteks positif dan indah, yakni “berlomba-lombalah dalam kebaikan”. Apabila orang lain mampu bederma satu juta rupiah, maka terdorong baginya untuk bederma dalam jumlah lebih banyak. Apabila founding fathers telah berhasil merumuskan dasar negara, maka malu rasanya bila generasi berikutnya tidak mampu mengisi kemerdekaan dengan prestasi yang lebih besar.
Sebuah pengalaman menarik, ketika Pusat Studi Pancasila UGM menyelenggarakan Focus Group Discussion dalam Pembudayaan Pancasila tanggal 28 Januari 2013, yang diikuti sekitar 30 orang ustadz dari berbagai pondok pesantren di kabupaten dan kota di Provinsi DIY, terasakan betul bahwa nilai-nilai agama yang kadang-kadang terasa begitu transendental, terbukti telah terartikulasikan dengan rapi nan indah di dalam Pancasila. Sungguh sayang hal demikian selama ini kurang/belum dipahami oleh para ustadz. “Mengapa selama ini di pesantren tidak pernah diajarkan Pancasila?” Itulah ungkapan peserta. Ternyata, ada proses pendidikan yang lepas dari akarnya, tidak membumi, sehingga menghasilkan gap persepsi tentang Pancasila. Dengan FGD tersebut, para ustadz seakan mendapat siraman air sejuk yang menyegarkan dan mampu menumbuhkan gairah untuk ikut serta membudayakan Pancasila melalui pondok pesantren.
Saya membayangkan, apabila pembudayaan Pancasila secara intensif dapat diselenggarakan pada semua jenjang dan jenis pendidikan, barangkali tidak akan ada kasus penolakan terhadap Lambang Negara Garuda Pancasila. Kita paham bahwa setiap negara mempunyai Lambang Negara sebagai simbol kedaulatan, kepribadian dan kemegahan negara itu. Sama sekali tak ada niat dan nilai kemusrikan di dalamnya. Justru sebaliknya, dengan lambang negara menjadi mudah bagi bangsa yang bersangkutan untuk memupuk cinta tanah air. Bukankah hal demikian merupakan bagian dari iman?
Tak terkecuali, bangsa Indonesia pun memiliki Lambang Negara Garuda Pancasila yang disahkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, dan penggunaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958. Pada peraturan itu dapat ditangkap arti atau makna lambang negara tersebut. Di bawah ini, saya coba mengutip beberapa bagian secara utuh agar maknanya dapat ditangkap dengan benar.
Adalah Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal  Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Garuda dengan perisai  memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan.
Garuda memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45, adalah tanggal, bulan dan tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
(1)   Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang   melukiskan katulistiwa.
(2)   Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut:
A.    Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;
B.     Dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai;
C.     Dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai;
D.    Dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan
E.     Dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan atas perisai.

Lambang Negara wajib digunakan di:
1.      Dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan;
2.      Luar gedung atau kantor;
3.      Lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
4.      Paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
5.      Uang logam dan uang kertas; atau
6.      Materai.

Selain itu Lambang Negara dapat digunakan sebagai :
1.      Cap atau kop surat jabatan;
2.      Cap dinas untuk kantor;
3.      Pada kertas bermaterai;
4.      Pada surat dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa, dan tanda kehormatan;
5.      Lencana atau atribut pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban tugas negara di luar negeri, Lambang Negara sebagai lencana atau atribut dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri;
6.      Penyelenggaraan peristiwa resmi;
7.      Buku dan majalah yang diterbitkan oleh Pemerintah;
8.      Buku kumpulan undang-undang; dan/atau di rumah warga negara Indonesia.

Setiap orang dilarang:
1.      Mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak lambang negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara;
2.      Menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
3.      Membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara; dan
4.      Menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam undang-undang.

Pada hemat saya, lambang negara juga menunjukkan kemajuan kebudayaan dan peradaban bangsa yang bersangkutan. Penghormatan terhadap lambang negara tentu tidak akan ada artinya apabila tanpa disertai penghayatan dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, penghormatan terhadap lambang negara sebagai perilaku lahiriah perlu disatu-padukan dengan sikap batin untuk senantiasa cinta tanah air.
Pembudayaan Pancasila, hanya akan efektif bila berkesesuaian dengan struktur sosialnya. Begitu majemuknya struktur sosial di negara ini, mengisyaratkan pembudayaan Pancasila pun wajib diselenggarakan dengan bijak dalam memilih metode. Tidak ada metode tunggal dan universal. Semua metode dapat dipilih dan benar, apabila berkorelasi dengan tingkat berpikir, daya tangkap, dan daya tarik bagi masyarakatnya. Di situlah, inovasi dan kreativitas diperlukan. Rambu-rambunya cukup sederhana, yakni komunalistik-religius. Sejauh rambu-rambu itu dipahami dan dtaati, maka kebebasan berinovasi, berkreativitas dalam pembudayaan Pancasila perlu dihargai dan diterima.
Bangsa Indonesia berkembang generasi demi generasi; sebagaimana juga dunia berkembang dalam dinamika globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme. Hanya bangsa yang unggul-kompetitif-terpercaya dalam sistem kenegaraan Pancasila ---yang diakui sebagai sistem kenegaraan terbaik bagi bangsa Indonesia---. Antar berbagai sistem kenegaraan modern, secara niscaya terjadi kompetisi dan perebutan keunggulan (supremasi ideologi dan politik) melalui berbagai bidang kehidupan: sosial politik, ekonomi, budaya dan ipteks canggih.
            Dinamika globalisasi-liberalisasi yang mendominasi praktek dan budaya politik internasional modern, dipelopori oleh USA dan Unie Eropa, sesungguhnya adalah praktek neo-imperialisme. Mereka bahkan melakukan rekayasa global, dan menguasai organisasi dunia, seperti: PBB, World Bank, IMF, bahkan juga ADB melalui jaringan NGO. Nampaknya, dana yang disediakan untuk perang dingin, dimanfaatkan untuk perjuangan politik supremasi ideologi.
            Generasi muda hendaknya meningkatkan kewaspadaan nasional dan ketahanan nasional; karena NKRI ini adalah milik masa depan kalian!
            Dalam era reformasi amat banyak terjadi penyimpangan dari asas-asas filosofis-ideologis (Pancasila) dan konstitusi Proklamasi (yang sudah menjadi UUD 2002, yang sarat kontroversial). Praktek NKRI telah menjadi budaya negara federal atas nama kebebasan, demokrasi dan HAM; sehingga berbagai sumber daya alam (SDA) dan sumber daya sosial-kultural yang fundamental, fungsional dan potensial, sebagian telah dikuasai modal asing (PMA, investor) atas nama liberalisasi ekonomi.
Kebijaksanaan Pemerintah sebagai termuat di dalam Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang tertutup dan terbuka, amat sangat memprihatinkan masa depan sosial, ekonomi, politik dan budaya nasional Indonesia. Apabila Perpres tersebut ditingkatkan sebagai undang-undang, maka globalisasi-liberalisasi sudah mencekam integritas NKRI sebagai wujud neoimperialisme.

D.    Tantangan Globalisasi-Liberalisasi dan Postmodernisme
Demi tegaknya integritas sistem kenegaraan Pancasila dan visi-misi nation and character building, adalah kewajiban nasional (semua komponen bangsa) untuk mampu meningkatkan wawasan nasional agar SDM warga negara kita senantiasa mewaspadai tantangan: globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme. Juga tantangan nasional dalam era reformasi (yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM) ---dalam praktek menjadi budaya neo-liberalisme dan anarchisme--- yang mengancam integritas bangsa dan NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila.
Cukup mendesak program pendidikan dan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila sebagai bagian dari visi-misi nation and character building; terutama:
1.            Meningkatkan mental-moral manusia dan warga negara RI sebagai satu bangsa Indonesia dalam NKRI sebagai negara bangsa (nation state, negara kebangsaan) seutuhnya. Maknanya, kondisi warisan budaya daerah dan kearifan lokal sebagai kebhinnekaan (pluralisme) dalam nusantara secara kultural dan moral ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia. Jadi, pluralisme dan warisan keunggulan daerah (= kearifan lokal), ditingkatkan dalam puncak budaya dan semangat kebangsaan dalam integritas nasional: kesatuan nasional (tunggal ika) dan kebanggaan nasional. Inilah jiwa kebangsaan dan jiwa nasional Indonesia yang melembaga dalam NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45. Bandingkan dengan motto negara Amerika Serikat: " E Pluribus Unum" (CCE 1994: 25).
2.            Bangsa dan NKRI hidup dalam dinamika dan antar hubungan regional dan internasional. Bangsa Indonesia adalah bagian dari tatanan peradaban dunia modern dalam semangat persahabatan dan kerjasama demi kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dunia abad XXI ditandai era globalisasi – liberalisasi dan postmodernisme (pasca modernisme). Dunia demikian menjadi medan adu kekuatan. Negara adidaya, dipelopori Amerika Serikat dan Unie Eropa bergerak pesat merebut supremasi (keunggulan) politik, ekonomi, budaya dan ipteks serta militer (hankam). Kita menyaksikan bagaimana USA dan Unie Eropa bersama negara-negara industri maju lainnya (Jepang, RRC, Australia) terus mendominasi politik dan ekonomi dunia. Kapitalisme – liberalisme menggoda dan melanda dunia!
3.            Khusus dalam NKRI mulai era reformasi, kita mengalami budaya politik liberal dan neo-liberalisme, demokrasi liberal, termasuk ekonomi liberal…. Praktek politik memuja kebebasan (liberalisme, neo-liberalisme) atas nama demokrasi dan HAM. Budaya dan praktek politik mengalami degradasi nasional, degradasi mental dan moral. Atas nama demokrasi dan HAM eks PKI (G.30S/PKI) melalui hujatan pelurusan sejarah, mereka bangkit dengan berbagai gerakan. Ini tantangan atas integritas Pancasila – UUD 45 dan NKRI, tantangan atas moral SDM Indonesia yang religious!
4.            Bangsa dan NKRI wajib waspada PKI ---sekarang terkenal sebagai Komunis Gaya Baru atau KGB--- adalah penganut marxisme-komunisme-atheisme. Ajaran ini bertentangan dengan dasar negara Pancasila yang beridentitas theisme-religious! Tegakkan asas moral theisme-religious sebagai benteng menghadapi marxisme-atheisme. Kekuatan neo-liberalisme yang hanya memuja kebebasan dan materi (kapitalisme), yang berwatak moral individualisme-sekularisme sinergis dengan marxisme-komunisme-atheisme yang memuja materi (materialisme) dan etatisme(memuja: kedaulatan negara, negara = hanya ada satu partai politik dalam negara, partai komunis sebagai partai negara)! Dalam sistem negara komunis tidak ada demokrasi atau kedaulatan rakyat; yang ada hanya kedaulatan negara yang dilaksanakan dengan otoritas tunggal partai negara! Tidak ada moral Ketuhanan dan agama, karena marxisme = atheisme! Karenanya, "tujuan menghalalkan semua cara!" Secara filosofis-ideologis PKI melakukan gerakan separatisme ideologi (= mengkhianati ideologi nasional) Pancasila!
5.            Tantangan nasional yang amat mendesak: bagaimana rakyat dan negara kita mengatasi tantangan sosial ekonomi yang menghimpit bangsa: kemiskinan, pengangguran; pendidikan biaya tinggi (RUU BHP, UNAS); konflik horisontal sampai anarchisme. Kondisi demikian seyogyanya ditangkal dengan pembinaan sistem ekonomi berdasarkan Pancasila – UUD 45 (Pasal 33) dan bukan mengikuti arus ekonomi liberal dan neo-imperialisme.

Mengapa kita setia melaksanakan fatwa (amanat) IMF, AFTA dan APEC; sementara kita mengkhianati amanat dasar negara Pancasila dan UUD Proklamasi yang imperatif! Apa kita setia dan mengabdi untuk neoimperialisme; atau tetap mengabdi kepada bangsa dan cita-cita nasional Indonesia raya!

Tantangan dimaksud secara normatif filosofis-ideologis dan konstitusional terlukis dalam skema berikut; dengan catatan:
1.      bacalah skema ini mulai dari baris bawah ke atas;
2.      perhatikan komponen ideologi dari sisi kiri dan kanan; yang merebut supremasi sosial politik dan ekonomi dalam forum internasional; dan
3.      bagaimana posisi NKRI (ditengah) himpitan dan tekanan antar sistem ideologi yang berebut politik supremasi ideologi ---yang bermuara sebagai neo-imperialisme dalam postmodernisme. Separatisme ideologi marxisme-komunisme-atheisme meruntuhkan integritas NKRI sekaligus martabat moral manusia SDM Indonesia yang berKetuhanan Yang Maha Esa (Pancasila + UUD 45 Pasal 29).

Pembudayaan Nilai Dasar Negara Pancasila
Semua komponen bangsa bersama Pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara berkewajiban untuk membendung pengaruh, tantangan dan ancaman globalisasi-liberalisasi dan postmodernisme di atas, demi penyelamatan masa depan bangsa dalam integritas sistem kenegaraan Pancasila.
Kewajiban demikian merupakan amanat nasional dan amanat moral, karena ajaran paham dari sistem ideologi mereka tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan ajaran sistem ideologi kita (ideologi negara Pancasila). Karena, secara mendasar dan mendesak negara berkewajiban meningkatkan pendidikan nasional sebagai kelembagaan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila.
Tegaknya asas dan fungsi Pembudayaan dalam Fungsi Kelembagaan Negara di atas mutlak dilandasi, dipersiapkan dan dididikkan bagi SDM warga negara sebagai subyek pengelola sistem kenegaraan Pancasila, melalui pendidikan nilai dasar negara Pancasila + UUD 45 secara signifikan.
            Sebaliknya, terlaksananya pendidikan nilai dasar negara Pancasila, berkat mantapnya kebijaksanaan kepemimpinan dan kelembagaan nasional yang mengemban amanat sistem kenegaraan Pancasila + UUD 45.    
Mulai konsepsi sistem nasional yang terpercaya (berkembang dinamis), sampai pelaksanaan atau prakteknya, sesungguhnya adalah proses  p e m b u d a -y a a n yang efektif dan berdaya guna.
Thema Pembudayaan Nilia Filsafat Pancasila, mengandung makna:
1.      Mendidikkan nilai-nilai filsafat moral Pancasila bagi generasi penerus sebagai manusia dan warga negara RI (supaya dengan sadar mampu mengamalkan); untuk menjamin tegaknya kemerdekaan, kedaulatan dan integritas NKRI; sebagai sistem kenegaraan Pancasila. Bagi generasi penerus perlu ditingkatkan pendidikan PKn, ketahanan nasional, ideologi Pancasila; IPS dan sejarah nasional.
2.      Membudayakan (moral filsafat Pancasila) yang secara filosofis-ideologis terjabar secara konstitusional di dalam sistem kenegaraan NKRI berdasarkan Pancasila - UUD 45; dikembangkan dan ditegakkan dalam N-sistem nasional.
Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan mewujudkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state).
            Juga bagi masyarakat pada umumnya, terutama kader orsospol dan tenaga-tenaga pelaksana aparatur negara; bahkan juga kelembagaan nasional seyogyanya diberikan program pembudayaan nilai dasar negara Pancasila, secara melembaga yang dikelola oleh lintas kelembagaan (departemental dan nondepartemental). Kelembagaan dimaksud supaya lebih mantap dan representatif, dapat diusulkan alternatif berikut: Depdiknas, Depag, LIPI, Komnas HAM, Lemhannas, Dewan Ketahanan Nasional; Menegpora, Dekominfo, dan berbagai komponen kelembagaan keagamaan: MUI, DGI dsb.
            Diharapkan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila dapat meningkatkan kesadaran nasional dan Ketahanan Nasional sebagai benteng penangkal degradasi wawasan nasional yang kita rasakan dalam era reformasi.

E.      Pokok-pokok Pikiran
Berdasarkan uraian ringkas yang terkandung dalam thema Seminar Nasional ini, maupun sub-thema dalam makalah ini, diharapkan beberapa pokok pikiran berikut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi tantangan yang makin meningkat, baik internasional (global, eksternal) maupun nasional (internal).  
Adanya keyakinan bangsa atas keunggulan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45 menjamin bangsa untuk menegakkan kepemimpinan nasional dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dengan asas budaya dan moral luhur sebagaimana diamanatkan pendiri negara (PPKI) dalam UUD Proklamasi seutuhnya. 
Pokok-pokok pikiran berikut mendorong kepemimpinan nasional, kelembagaan negara maupun komponen bangsa; termasuk berbagai partai politik dan elite reformasi untuk merenungkan (refleksi) demi masa depan bangsa dan NKRI, serta generasi muda bangsa sebagai potensi dan generasi penerus.
1.            Keunggulan sistem filsafat Pancasila sebagai ideologi nasional secara fundamental terpancar dalam integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Artinya, sistem ideologi Pancasila menjamin integritas moral SDM dan kepemimpinan nasional untuk ditegakkan dalam moral dan budaya sosial politik dan ekonomi dalam NKRI.
2.            Dasar negara Pancasila terjabar dalam UUD 45 seutuhnya secara valid dan orisinal berkat dirumuskan oleh PPKI dengan jiwa pengabdian, dan kearifan kenegarawanan yang tulus ---tanpa interest dan kepentingan golongan; bahkan dari mayoritas atas minoritas---; bukan sebagai yang kita saksikan dalam praktek budaya politik era reformasi.
Keabsahan nilai mendasar ini menjadi landasan dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan dalam NKRI.
3.            UUD Proklamasi (Pembukaan-Batang Tubuh-Penjelasan) adalah perwujudan dan pedoman sistem kenegaraan yang  unggul terpercaya; sebagai negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum dalam integritas NKRI sebagai nation state yang ditegakkan dengan asaswawasan nasional, wawasan nusantara dan asas kekeluargaan. Asas fundamental ini menjadi landasan konstitusional membangun bangsa dalam NKRI yang adil dan sejahtera, jaya dan bermartabat.
4.            Integritas nilai dasar negara Pancasila sebagai filsafat hidup, dasar negara dan ideologi nasional secara konstitusional menjamin masa depan bangsa dalam dinamika dan kompetisi antar ideologi yang berjuang merebut supremasi. Artinya, bagaimanapun gejolak dunia postmodernisme (cermati isi nilai dalam skema 7), insya Allah bangsa dan NKRI tegak dalam integritas sebagai kenegaraan Pancasila. Untuk tujuan ini negara berkewajiban melaksanakan visi-misi nation and character building melalui pendidikan dan pembudayaan dasar negara Pancasila (secara melembaga dan lintas lembaga).
5.            Kondisi reformasi dan amandemen UUD 45 (= UUD 2002) secara fundamental dan konstitusional cukup mengandung distorsi filosofis-ideologis dan konstitusional. Karenanya, berdampak langsung terhadap proses degradasi wawasan nasional, sosial politik dan ekonomi bangsa. Kondisi demikian bermuara kepada disintegrasi nasional dan NKRI.... yang pada gilirannya tercengkeram oleh neo-imperialisme!
6.            Reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM mengancam integritas nasional dan integritas NKRI; bahkan integritas mental dan moral SDM Indonesia, mulai pemimpin sampai generasi penerus.
7.            Kebebasan atas nama HAM dengan praktek demokrasi liberal melanda budaya sosial ekonomi bangsa termasuk dunia dan lembaga kependidikan nasional. Peluang kebebasan cukup dimanfaatkan untuk kebangkitan neo-PKI/KGB yang memperjuangkan marxisme-komunisme-atheisme sebagai wujud separatisme ideologi. Proses degradasi mental dan moral demikian meruntuhkan moral dan martabat manusia Indonesia dan integritas sistem kenegaraan Pancasila.

Bagaimana tantangan dan ancaman ini dihadapi oleh MPR RI dalam menegakkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan UU RI No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (terutama pasal 107a – 107f)     
            UUD 45 amandemen (= UUD 2002) menyimpang dari asas kerokhanian bangsa dan kaidah fundamental negara (Pembukaan UUD 45) menjadi demokrasi liberal dan praktek negara federal! Kondisi demikian tidak dijiwai asas moral dan budaya politik demokrasi Pancasila dan ekonomi Pancasila. Fenomena elite reformasi dapat dianggap mengkhianati asas moral dan dasar negara Pancasila. Karenanya, kondisi bangsa dan NKRI dalam era reformasi makin memprihatinkan dalam semua bidang kehidupan!
Semoga bangsa dan NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45 senantiasa dalam pengayoman Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kuasa, Yang menganugerahkan dan mengamanatkan kemerdekaan nasional dalam integritas NKRI. Amien.




























DAFTAR RUJUKAN

Anonym. (2011). “Cukupkan Pendidikan Kewarganegaraan?” Tersedia [Online] http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/06/10495397/Cukupkah.Pendidikan.Kewarganegaraan. Diakses Pada 5 April 2014

Prof.Dr.Sudjito, SH.Msi. “Pembudayaan Pancasila” http://www.bin.go.id/wawasan/detil/190/3/07/02/2013/pembudayaan-pancasila. Diakses Pada 5 April 2014




0 komentar

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
vickri's world
Lihat profil lengkapku

Blog Archive

Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates